Wednesday, 30 October 2013

Aku Rindu Auramu

Pada bumi yang pernah kaki berpijak, kala ku tengok kediamanmu
Di tepian bengawan solo tepatnya
Membentang tanah berbangun
Gedung sederhana jua rumah kayu, sederhana

Tak seorangpun dapat perlakuan beda,
Kala bertamu sowan kesana
Berpijak disana orang berbusana putih
Terpernjat nuraniku, kala petuah hikmah terujar

Lantunan syair kehidupan, menerpa bagai butir salju dari lazuardi
Putih bening nan terasa sejuk
Bergerombol membukit,memuncak mengkristal
Bagai mutiara bercahya,

Salju yang warnanya putih, selalu mencair kala diterpa panas
Putih, lalu dinginnya terasa, mendinginkan akar nadi menembus dahan nurani
Kala kupandang, mereka
Aku selalu merindu akan terpanya

Aku ingin memapah lara, kala kemarau tiba
Agar ku tak lagi terpanggang, terbakar
Agar tubuhku tak lagi gersang dan hangus
Agar malam tak lagi kelam, bungkam

Ah entah, mungkin aku menduga
Jadi sungguh takaut, kini aku...
Mungkinkah karna musim yang masih kemarau
Butir salju itu kini jarang menerpa

Sungguh ku ingin bermusim-musim singgah disana
Agarku tersejukkan butir-butir salju sejukmu
Agarku terpantuli kilauan cahya mutiaramu
Jadi  lentera malam-malamku




Kolong Langit Surabaya, 09:09. 29 Oktober 2013 

Kecerdikan Orang Kecil


Abu Nawas diminta memberikan ceramah di hadapan pembesar negeri. Semua sudah tahu bahwa para pembesar negeri tersebut suka memras rakyat kecil dengan berbagai sumbangan wajib dan upeti-upeti terselubung. Yaitu jika rakyat memerlukan wewenang mereka untuk menyelesaikan suatu urusan.
Dalam ceramahnya, Abu Nawas lantas bercerita:
“Pada suatu ketika beberapa negara mengadakan pertandingan. Yang ikut bertanding adalah wakil-wakil dari negara Hitam, Putih, Bule, Kuning, dan juga negara kita. Pertandingannya sendiri sebenarnya tidak istimewa. Hanya memeras handuk basah. Siapa yang berhasil mengocorkan air paling banyak dari handuk yang hampir kering itu, dialah yang menang.
“Majulah orang Hitam yang terkenal kuat-kuat. Ia mengangkat handuk itu, lalu memerasnya sekuat tenaga. Namun, hasilnya Cuma beberapa tetes air.
“Sekarang giliran orang Putih yang termahsyur kesaktiannya. Ternyata air yang keluar dari handuk itu juga hanya sedikit.
“Orang Bule yang tersohor sombong pun demikian pula kesudahannya. Walaupun ia sudah berkutat sampai berkeringat, handuk itu Cuma mengeluarkan beberapa titik air.
“Tibalah saatnya orang Kuning yang bangsanya menguasai dua pertiga dunia dengan kecerdikan dan kekuatannya. Memang, orang kuning boleh saja merajalela di jalan-jalan, di pasar-pasar, dan di istana orang-orang berpangkat. Namun, ketika ia memeras handuk yang setengah kering itu, air yang mengucur juga tidak banyak. Hanya beberapa ciprat saja.
“Maka majulah wakil negara kita. Orangnya kecil, kerempeng dan pucat pasi, hingga para wakil negara lainnya mencibirkan bibir. Mana mungkin orang sekurus itu dapat menandingi mereka?
“Tetapi, sungguh mencengangkan. Walaupun ketika mengangkat handuk itu wakil negara kita tersebut sudah keberatan, pada waktu memerasnya air yang keluar banyak sekali, sampai timbul banjir dimana-mana.
“Dengan takjub lawan-lawannya bertanya serempak, ‘Sangat mengherankan. Bagaimanakah Tuan yang kecil dan kurus dapat memeras handuk itu sampai airnya melimpah ruah?”
“Sambil membusungkan dada, wakil negara kita itu lantas menjawab, ‘Wahai Tuan-tuan. Tentu saja tak kan bisa menandingi saya dalam pertandingan memeras handuk ini. Sebab di negeri saya, soal peras-memeras memang merupakan kebiasaan sehari-hari, di mana-mana.’”
Mendengar ceramah Abu Nawas tersebut para pembesar negeri yang sering melakukan pemerasan itu tertunduk. Mereka merasa malu dan berjanji tak kan mengulangi perbuatan buruk itu lagi.
Itulah sekelumit kecerdikan orang kecil yang tidak punya banyak ilmu, harta, maupun kekuasaan. Otaknya bisa berputar lancar dalam keadaan terpaksa untuk mencari keselamatn dan jalan keluar.
Sama seperti yang dialami oleh seorang jemaah haji dari Sunda di Tanah Suci Makkah. Ia tersesat ketika hendak tawaf mengelilingi Ka’bah. Ia telah mencari-cari, di manakah Masjidil Haram, mau bertanya-tanya ia hanya bisa berbahasa Sunda. Padahal dari tadi tidak dijumpainya orang sekampung.
Alangkah gembiranya orang Sunda itu ketika bertemu dengan jemaah lain yang kulitnya sama. Disangkanya orang itu berasal sedaerah dengannya. Maka dengan bahasa Sunda yang lancer ia bertanya:
“Punten. Palih mana nu bade ka Masjidil Haram?” Maksudnya menanyakan arah menuju Masjidil Haram.
Tahu-tahu jamaah yang ditanya bukan orang Sunda. Kulitnya sama, tetapi bahasanya berbeda. Sebab ia orang Jawa totok yang hanya mengerti bahasa Jawa. Karena itu orang tersebut menggeleng seraya menjawab, “Lhah. Boten ngertos.” Artinya, tidak mengerti apa yang ditanyakan.
Tetapi orang Sunda itu tidak kehabisan akal. Ia berpikir, orang Jawa itu toh biasa bersembahyang, dan pasti mengerti bahasa Jawanya surah Al-Fatihah, sebab surah itu wajib dibaca dalam sembahyang.
Ia pun lantas berkata, “Punten. Ihdina Masjidil Haram.” (Ihdina adalah salah satu kalimat dalam Al-Fatihah yang maknanya berilah kami petunjuk.”
Betul juga. Orang Jawa itu paham maksudnya. Maka sambil tertawa orang itu menjawab. ”Shirathal mustaqim.” (Ini juga terdapat dalam Al-Fatihah yang bahasa kitanya berarti jalan lurus.)
Orang Sunda itu dengan suka cita mengucapkan terima kasih, lalu berjalan lurus ke depan. Beberapa langkah di muka ia agak kebingungan. Yang lurus jalannya kecil, sedangkan yang lebar jalannya ke sebelah kiri. Jadi ia menempuh jalan yang agak ke kiri itu karena lebih lebar.
Dari kejauhan orang Jawa tadi berteriak, “Waladl dlallin. Mustaqim. Jangan tersesat. Lurus saja.”

Dengan peringatan terakhir itu, orang Sunda tersebut berhasil mencapai tempat yang dituju, Masjidil Haram, yang tengahnya terdapat Ka’bah, tempat ia akan melakukan tawaf tujuh kali putar.

Kejujuran Menundukkan Kejahatan

Setelah menginjak masa remaja, Abdul Qadir berniat untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Kota yang ditujunya adalah Baghdad. Sebetulnya ibunya khawatir uga karena Baghdad terlalu jauh buat pemuda kecil itu. Apalagi melewati jalan-jalan lengang yang sering dihuni pembegal-pembegal.
Namun, menghadapi kemauan keras anaknya, akhirnya ibunya memberi izin. Uang dinar sebanyak 40 dinar dijahitkan di dalam baju Abdul Qadir. Kemudian anak itu dititipkan kepada sebuah kafilah niaga.
Hanya satu pesan ibunya sebelum berangkat, yaitu apapun keadaan yang dihadapi, Abdul Qadir tidak boleh berbohong kepada siapapun. Pesan ini senantiasa diingat oleh pemuda belia itu, dan dipegangnya sebagai wasiat yang paling berharga.
Pada suatu hari, kafilah itu sampailah di sebuah tempat yang bernama Hammadan. Menjelang masuk ke pintu kota, tiba-tiba muncul 60 penyamun seperti hantu-hantu yang baru bangkit dari kuburnya, dengan menggunakan senjata mereka merampok kafilah itu habis-habisan.
Barangkali lantaran dianggap pemuda kerempeng yang melarat, Abdul Qadir sama sekali tidak diperdulikan. Pikir mereka, pemuda ingusan itu toh tidak membawa apa-apa. Pakaiannya sangat sederhana dan wajahnya polos belaka.
Tapi ada juga seorang penyamun yang bertanya, “Hai anak muda kamu punya apa?”
Abdul Qadir menjawab, “Saya punya uang 40 dinar dijahit di baju saya.”
Penyamun itu tertawa terbahak-bahak, tidak percaya. Datang lagi yang lain. Ia pun bertanya, “Hai, kau punya apa?”
“Saya punya uang 40dinar dijahitkan oleh ibu saya di dalam baju saya.”
Kali ini ia melaporkan kepada kepala penyamun. Mendengar pernyataan tersebut segera diperintahkan agar Abdul Qadir dihadapkan kepadanya.
Kepala penyamun itu memerintahkan agar baju si anak muda digeledah. Betul, dibalik bajunya ada uang 40 dinar yang dijahitkan kuat-kuat. Kepala penyamun sampai heran dan bertanya, “Hai anak muda. Uang sudah disembunyikan, mengapa kau katakan rahasianya?”
Abdul Qadir menjawab tenang, “Ibu saya berpesan supaya jangan berdusta kepada siapapun. Saya telah berjanji kepada ibu untuk mematuhi pesannya itu dalam keadaan bagaimanapun.”
Mendengar jawaban yang serba jujur ini terharu hati kepala penjahat itu. Seolah-olah ia ditegur dengan keras. Matanya sampai berkaca-kaca, ingat akan dosa dan keculasannya. Seumur hidupnya ia tidak pernah kenal kejujuran. Hidupnya menipu, dan menindas orang lain. timbullah penyesalannya, hingga tanpa terasa ia menangis dengan sedih.
Setelah lapang dadanya dengan tangisan sesal itu, ia menjabat tangan Abdul Qadir dan memeluknya. Ia berjanji akan menghentikan perbuatan jahatnya karena malu terhadap kejujuran seorang anak muda.
Semenjak itu kepala penjahat itu dikenal sebagai orang yang insaf, demikian pula anak buahnya.

Saturday, 26 October 2013

Kalam Hikmah

Dalam suatu kesempatan Sayyidina Ali R.A. pernah berfatwa,

"Aku khawatir terhadap suatu masa yang roda kehidupannya dapat menggilas iman. Iman hanya tinggal pemikiran yang tidak berbekas dalam perbuatan.

Banyak orang baik tapi tidak berakal, ada orang berakal tapi tidak beriman.

Ada lidah fasih tapi berhati lalai, ada yang khusyu' namun sibuk dalam kesendirian.

Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis. Ada ahli maksiat, rendah hati bagai sufi.

Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat, ada yang banyak menangis tapi kufur nikmat.

Ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat. Ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut.

Ada yang berlisan bijak tapi tidak memberi teladan. Ada pelacur tampil jadi figur.

Ada yang punya ilmu tapi tidak paham, ada yang paham tapi tidak menjalankan.

Ada yang pintar tapi membodohi. Ada yang bodoh tak tahu diri.

Ada orang beragama tapi tidak berakhlak, ada yang berakhlak
tapi tidak bertuhan.

Lalu diantara semua itu dimana aku berada....?"


Obrolan Plus dan Minus

-"Janganlah MENYEMBAH kuburan!"
+"Setahu saya, hanya mereka yang nalarnya bersumbu pendek yang selalu menilai negatif-justifikatif orang lain!"

-"Tak perlu merayakan mawlidurrasul, karena akan MENGKULTUSKAN beliau!"
+"Pobhia-mu terhadap sesuatu, kawan, tak perlu kau paksakan pada orang lain!"

-"Merayakan ma
ulid? Tak usah! Apa kalian akan menuhankan Muhammad sebagaimana Nasrani menuhankan Isa?"
+"Seberapa hebatnya dirimu, sehingga kau remehkan akal jernih kami dalam mencintai Baginda Rasulullah?"

-"Ah, dasar kelompok yang MEMPERTUHANKAN KIAI!"
+"Baiklah, maaf, saya malah curiga panjenengan mempertuhankan AGAMA, bukan mempertuhankan Allah!"

-"Bayi yang baru lahir tak perlu diadzani dan diiqamati. Hadisnya Dhoif, bahkan ada yang menilai Mawdlu'!"
+"Wahai ibunda, lebih baik mana; kalimat mulia nan syahdu atau ocehanmu yang pertama kali didengar telinga buah hatimu?!"

-"Itu tidak ada dalilnya. Bid'ah Dholalah!"
+ "Sudah berapa ribu kitab yang kau baca, sahabatku! Berapa ratus ulama yang kau cucup ilmunya? Bukankah lebih bijak tatkala kau katakan BELUM MENEMUKAN DALIL-nya!"

-"Tashawwuf, sufi, thariqah dan semacamnya itu bikin umat Islam pemalas. Jumud. Akhirnya gampang dijajah kaum kafir! Paham?"
+"Saya memahami ucapanmu, sahabatku. Tapi tidak memahami LOGIKA-mu. Sebutkan saja jumlah perlawanan terhadap kolonialisme yang dilakukan pengamal tarekat di berbagai negara dalam puluhan kurun. Tolong, sebutkan, sebutkan 5 saja! Masih berkilah, sebutkan minimal 50 nama muhadditsin dan fuqaha' yang merupakan sufi-sufi besar! Saya kira cukup sebagai panduan narasi historismu yang tendensius-justifikatif. Saya tidak menuduh panjenengan dungu, tapi saya kira panjenengan bisa memahami ucapan saya."

-"Kita harus kembali ke al-Qur'an dan Assunnah!"
+ "Kembali?! Kami bahkan tidak pernah MENINGGALKANNYA, mengapa harus KEMBALI?!

-"Ikuti Manhaj Salaf!"
+"Selama ini pegangan kami, guru-guru kami, juga karya para ulama Salaf! Sanad guru-guru kami juga terkoneksi secara valid dengan ulama penulisnya. Mengapa harus menjadi makmum madzhab Salaf versimu?!"

-"Laknat Allah bagi pelaku bid'ah seperti kalian!"
+ "Kami, ya, kami, maaf, selalu me-WASPADA-i siapapun yang mengaku memperjuangkan KEBENARAN, tetapi mulutnya menyemburkan kalimat laknat, caci-maki, dan kutukan terhadap saudara seiman!"

Setelah membaca dialog di atas, bagi panjenengan yang mau menanam bibit nasehat menggunakan kalimat normatif, seperti
"Mengapa perkara seperti ini dipersoalkan?!"
"Kapan umat bersatu jika terus seperti ini?"
"Ya Akhy, istighfar!"
"MasyaAllah, bukankah kita saudara seiman?!"
"Bertaubatlah ya akhy!"
.......dan nasehat lainnya, saya sarankan, agar menyimpan kalimat tersebut di brankas, karena saat ini saya hanya butuh suplai eskrim Magnum. Sesederhana itu, kawan!
--
Wallahu A'lam Bisshawab...



Menghilangkan Aku Menghadirkan Tuhan

Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme). Ketuhanan baru berarti, jika mampu menyelesaikan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan. Sampai-sampai sekularisme mensyaratkan “hilangnya Tuhan” demi kemajuan dunia.
Kita tentu bertanya, bagaimana bisa ciptaan terbebas dari pencipta? Bisa kata Newton, sebab alam seperti jam yang memiliki mesin sendiri. Jadi, setelah Tuhan mencipta “jam” itu, maka Dia dianggap nganggur. Manusia dengan akalnya telah mampu melihat dan bahkan menguasai mesin (hukum alam) yang membuat jam berdetak. Maka dimana lagi tersedia ruang bagi Tuhan?
Adalah Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang menjadi salah satu garda depan, dari pihak yang mengritik paradigma ini. Melalui filsafat perenial, sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf, ia mencoba mengklarifikasi salah paham akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir, dari intelek (akal batin), kepada reason (rasio). Baginya, pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi tuhan-tuhan kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat samsara (kesengsaraan), akibat kedunguan spiritualitas, dan arogansi egoisme. Meminjam Lukacs, manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness : hilangnya hubungan harmonis dan keterkaitan batiniyah dengan dunia. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru ketika berbagai alat kemanusiaan telah dikuasai. Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan dosen kelahiran Singapuradan lulusan Universitas Qum Teheran tersebut.

Menurut Mas Bagir, bagaimana tasawuf bisa menjelaskan, bahwa ketika berada di jalan Tuhan, maka kita bisa menyelesaikan masalah dunia (kemanusiaan)?
Kita lihat dalam Kristen dulu ya. Dalam Kristen, the word (kalimat) itu mendaging, meat, flesh. Antropomorfisme. Maknanya, Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia. Dia mau menunjukkan, bahwa Aku dalam form manusia bisa menyelamatkan kalian dari kesengsaraan. Tuhan berkata, bahwa ketika manusia terhubung dengan Aku, mereka bisa selamat, salvation. Sementara dalam Islam kan teo-morfisme, bukan antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia melangit. Jadi teo-morfisme merupakan tajalli Tuhan. Perbedaannya ada tapi tidak mencari mana yang benar mana yang salah. Disini manusia jadi tajalli-nya Tuhan. Berarti manusia jadi refleksi. Dan ketika manusia menjadi tajalli Tuhan, dirinya sendiri sudah tidak ada lagi. Jadi dalam Islam, manusia bisa menghilangkan individualisme untuk mencapai pada the divine (ketuhanan).
Apa kaitannya dengan individualisme?
Semua suffering, masalah dunia di hidup kita kan karena individualitas kita. Karena kita mengakui “aku”, dalam Buddhism kan gitu juga. Kalau aku-nya hilang, ya nggak akan ada masalah. Misalnya kalau kita bawa dalam preposisi: ada subjek ada predikat. Predikat bisa gembira, sedih, aku sedih, aku gembira, aku stress. Coba kalau subjek (aku)-nya hilang, nggak ada apa-apa lagi kan? Kita boleh saja sedih, sakit, tetapi karena “aku” tak ada, maka tak ada yang merasakan segala kesakitan itu.

Nah disini bedanya ilmu akhlak dan metafisik. Misalnya, akhlak takabur. Dalam ilmu akhlak dijelaskan, definisi takabur itu apa, efek yang akan merusak jiwa kita gimana? Jadi kita harus gantikan pada predikat yang positif. Disini ilmu akhlak lebih konsentrasi pada predikat. Tapi selagi ada subjek, tetap ada predikat kan? Sementara irfan dan tasawuf konsentrasi pada subjek. Hilangkan subjek dong. Ketika subjek hilang, Subjek dengan “S” besar muncul. Aku (Ana) yang besar, maka predikat-predikatnya muncul kan, Asmaul husna. Itu namanya tajalli. Dengan cara itu manusia selamat dari segala kesengsaraan dalam kehidupan individualisnya.

Bagaimana cara untuk menghilangkan “aku”?
Harus ada ilmu. Ilmu yang selama ini kita pelajari ada dua macam. Ada accumulatif knowledge, ada yang annihilatif knowledge. Accumulatif itu kan akumulasi. Kita semakin banyak mencari ilmu. Ketika terjadi akumulasi, maka harus ada subjek, dan subjek ini mengakumulasi knowledge. Aku ‘alim, aku mengetahui, aku lebih pintar. Tetapi annihilation, nihilasi (fana’), ilmu yang menghilangkan subjek. Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Ketika dia terbatas, pasti ada yang lain. Jadi konsep tauhid juga berkata seperti itu. Tidak ada realitas, selain Dia menghilang semuanya. Kalau hilang subjek ya sudah. Kita akan melihat seluruh alam ini dengan kaca mata Dia, bukan kaca mata individualis lagi. Jadi kalau ada masalah, kita kan sering lari darinya, dan masuk masalah lain. Yang harus kita lakukan seharusnya beyond, melampaui. Apa yang bisa bawa kita keluar dari masalah.

Karena masyarakat modern kan, kalau ingin menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ekonomi, politik dengan politik, dsb. Nah kalau pendekatan spiritual, misalnya kalau kita menghadapi masalah politik, yang kita lakukan adalah “penghancuran kedalam” ya?
Ya, karena kalau sudah hancur aku-nya, yang muncul kan tajalli-nya Allah. Contoh, Banyak teman-teman yang tanya sama saya, “Saya takut mau suluk”. Kenapa? “Kalau saya suluk, mungkin saya akan tinggalkan dunia ini”. Seorang istri akan bimbang kalau suaminya tinggalkan dia, tidak perdulikan nafkah, anak-anak.

Seolah-olah Tuhan itu di barat, dan dunia di timur ya. Kalau ke barat ya harus ninggalin timur?

Makanya saya terus bilang, “Bu, kalau orang suluk, dia akan hilang egonya, individualnya, ananiyah-nya. Yang akan tajalli itu Tuhan. Ketika Tuhan tajalli, Tuhan al-’alim, Tuhan al-raziq, Tuhan arrahman. Lalu ibu akan berinteraksi dengan siapa? Jadi suami ibu nggak ada, yang ada hanya Yang Pengasih dan Penyayang. Pasti dia al-raziq. Ketika dia kerja, kasih uang, dia sebagai al-raziq, bukan sebagai manusia yang memberi nafkah pada isteri. Nah banyak orang melupakan hal ini. Ketika manusia menyatu dengan Tuhan, orang pikir kalau kita mau suluk, kita akan tinggalkan semuanya. Padahal dalam al-Qur’an Allah itu kan wahuwa ma’akum, Dia bersama dengan kalian, ainamaa kuntum, dimana saja kalian berada. Jadi kalau kita menjadi manifestasi Tuhan, kita bukan hanya dengan keluarga, kita bersama dengan semua manusia, pohon, alam, dsb. Contoh. Nabi Muhammad SAW. sampai sekarang hadir bersama kita. Nabi Muhammad saw. bukan keberadaan temporal. Sampai sekarang ia bersama kita. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi. Jadi bukan terputus dari kehidupan, justru semakin terkait dengan kehidupan.

Nah, ada juga problem Mas. Masyarakat kan sering memisahkan akal dengan hati. Artinya, mungkin bisa dijelaskan perbedaan fungsional antara reason (rasio) dengan intelek (qalbu)?
Kalau reason, kan berada di wilayah ilmu hushuli, konseptual. Padahal ilmu konseptual sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau intelek itu ilmu hudhuri, dimana subjek dan objek tidak terpisah. Antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak pernah terpisah. Dia menyatu. Seperti, saya sadar dengan diri saya sendiri. Aku tahu aku. Aku subjek, aku juga objek kan. Demikian juga, aku lapar. Lapar itu satu objek pengetahuan, kita tahu. Subjek ilmu, saya kan. Tapi lapar bukan berada diluar saya, tetapi didalam diri saya sendiri. Bukan identitas saya juga, tetapi sebagian dari aspek saya.

Kalau Maulana Rumi menceritakan perbedaan itu. Diceritakan ada kompetisi melukis, menggambar taman bunga. Satu group minta kanvas, kuas, dan cat yang paling bagus. Sementara group lain hanya minta cermin. Setelah jadi dilihat, oh ini lukisannya bagus, lukisan di kanvas, persis seperti taman, tapi cuma satu dimensi saja. Sementara cermin kan refleksi, oh ini persis sekali. Nah, kalau filsuf itu melukis realitas, dengan konsep, ide dan pemahamannya. Kalau seorang ‘arif, realitas dimasukkan dalam hatinya, cermin itu qalbu-nya. Realitasnya ada didalam cermin, jadi tidak terpisah dari dia. Makanya dalam hadist, “Bumi tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”. Nah dimana kita menempatkan Tuhan yang tidak terbatas? Dengan merefleksikan Dia tentunya.

Cermin itu didalam manusia?

Qalbu itu cermin. Allah ada disitu. Qalbu kan divine, bukan human. Gimana qalbu bisa menempatkan Tuhan yang tidak terbatas, kecuali kalau qalbu itu sendiri adalah Tuhan. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, maksudnya ya Tuhan yang mengenal diri-Nya sendiri. Nggak mungkin manusia kenal Tuhan. Jadi Tuhan itu mengenal diri-Nya sendiri.
Intelek seperti itu. Kalau ilmu hushuli kan konsep, melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri, kita masukkan realitas dalam hati. Kalau kita melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Nabi melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Jadi Nabi setiap ada permasalahan selalu bertanya kepada Allah, itu bahasa teologisnya. Tetapi sebenarnya, Aku adalah Dia. Jadi bukan politik humanis lagi, tapi politik divine. Disini filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, mau menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia. Ketika Tuhan hadir, kan alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Salah satu nama Tuhanpun al-Mu’min, Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Dia hadir, Dia akan memberi keamanan pada semunya. Kan ada hadist, al-mu’min miratul mu’min (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan).

Di Paramadina saya pernah ditanya, “Tuhan dengan manusia kan beda?” Saya jelaskan, dalam al-Qur’an ada ayat tentang Nabi Muhammad, innama ana basyarun mistlukum (Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Saya bertanya pada Bapak itu, “Pak, disini jelas bahwa Muhammad itu seperti manusia, seperti kalian, mistlukum. Seperti, jadi sebenarnya bukan persis manusia. Lalu kalau begitu, Muhammad itu apa?”
Maksudnya?

Tuhan mau menyelamatkan manusia di bumi ini. Tetapi kalau Tuhan menurunkan manusia, sama kan, kualitas, karakter. Jadi nggak bakal selamat. Maka yang harus membimbing manusia itu harus Aku, kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia, khalifah:
cermin Aku sendiri. Jadi Tuhan, mau membimbing manusia tanpa meninggalkan langit, caranya bagaimana? Bahasa simbolisnya kan. Kalau Tuhan turun, langit kosong dong. Kan di al-Qur’an, fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun (di langit Tuhan, di bumi Tuhan). Satu cara untuk Tuhan turun ke bumi, tanpa meninggalkan langit itu, taruh cermin dibawah, namanya khalifatullah. Dia sendiri yang datang. Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk.

Cara atau metodologi dalam kedua ilmu yang berbeda itu seperti apa Mas? Al-Ghazali berkata, bahwa pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga eksperimental ruhaniyah. Apakah seperti itu?

Mereka yang belum menyadari kehadiran intelek, paling tidak memiliki panca indera, dan rasio. Indera kita gunakan untuk melihat, afalaa tadabbarun, kamu lihat langit dan bumi, dan kamu kontemplasi. Rasio untuk berpikir. Sementara proses pemikiran kan berada dibawah bimbingan wahyu, dari Dia juga. Jadi tidak terputus dari Tuhan. Nah kita gunakan semua ini, untuk diarahkan pada kesadaranintelektus tadi. Ada beberapa langkah yang harus kita lakukan.
Pertama, kita harus menempatkan diri kita dalam ruang agama. Tidak mungkin diluar agama. Sekarang di Barat ada yang nggak pakai agama, spiritual universal. Kata mereka, kalau sudah terikat oleh agama, maka tidak universal lagi. Padahal kalau kita terikat pada satu agama, kita makin universal. Karena tidak mungkin ada universal tanpa partikular. Contoh. Orang bilang kalau sudah ada batin, nggak butuh dhahir lagi. Bisa nggak saya bilang, saya kenal atas, tapi bawah saya nggak tahu? Nggak bisa kan. Kenal atas karena kenal bawah. Dhahir itu ada, karena ada batin kan, demikian sebaliknya. Nah, dalam agama ada jalan esoteris, jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan itu. Itu syarat yang berada diluar diri manusia.
Kedua, cara yang ada dalam diri manusia. Yakni himmah (aspirasi yang tinggi). Kata Syeh Ahmad Mustafa al-Alawy, dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju Tuhan adalah himmah, aspirasi yang tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Misal, dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang dikit saja, itu sudah cukup. Kalau nggak ada lubang, semua tertutup, kita nggak bisa melampaui ruang yang gelap.

Kata Hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”.

Ya. Ketika ada aspirasi baru ada respon, Jadi adzkuruunii adzkurukum, jika kau mengingat Aku, maka Aku pun mengingatmu. Setelah himmah, maka harus ada iman. Iman kepada agama. Agama terbentuk dari wahyu, dan wahyu sebenarnya manifestasi dari Dia, jadi iman kepada Dia sebenarnya. Ini yang subjektif, himmah dan iman. Sementara yang objektif tadi, agama dan jalan dalam agama. Seorang sufiberkata, “Dari Tuhan kepada manusia ada jalannya. Tapi dari manusia ke Tuhan, nggak ada jalannya”. Jadi kalau ada orang tenggelam, yang melempar tali itu siapa? Orang yang dikapal atau yang tenggelam? Jadi jalan dari kapal ke laut ada, tapi kalau sebaliknya tidak ada. Oleh karena itu syariat dari Tuhan, bukan manusia yang membuat syariat. Jalan thariqah pun harus dari Tuhan. Karena kita kan berada di luar, mau kedalam. Apa kita buat jalan sendiri? Nggak mungkin. Itu yang saya maksudkan, agama harus ada “jalan kedalam”, dari batin agama itu sendiri.

Antara Kopi Luwak dan Pelacur

Sebagai pemakan tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, dan bunga-bungaan, luwak (viverridae) merupakan binatang yang pandai memilih makanan. Ia selalu makan biji kopi yang baik dan matang. Biji kopi itu lalu mengalami proses fermentasi dalam pencernaannya. Itulah yang membuat rasa kopi ini berbeda. Aromanya lebih harum serta ada rasa pahit dan getir asam yang lebih khas dan spesial. Jadi, kopi luwak yang terkenal nikmat dan mahal tersebut sebenarnya berasal dari tumpukan kotoran. Kotoran, secara kasat mata memang kotor dan menjijikkan. Namun, dalam kehidupan nyata, tak semua yang terlihat kotor dan menjijikkan itu memang begitu adanya. Pelacur misalnya.

Belajar Ar-Roja’ dari Pelacur

Pelacur, bak pedang bermata dua: dicinta dan dicerca. Mendengar namanya saja bagi sebagian orang sudah membuat jijik dan muak, namun buat sebagian lagi mereka adalah teman sesaat sebagai penghibur hati yang duka. Walau dengan segala upaya telah dilakukan untuk memberangusnya, namun profesi tertua di bumi ini masih tetap saja ada.
Pelacur adalah contoh gamblang para pendosa, simbol neraka yang kerap diucapkan oleh para ulama, sosok yang keberadaannya mengundang kecaman warga. Pendek kata ia adalah musuh utama masyarakat beragama.
Tapi, apakah memang sebegitu mulianyakah kita sehingga merasa berhak merendahkan mereka? Seakan kitalah pemilik surga yang bisa memasukkan penzina itu ke neraka. Kalau anda berpendapat demikian, maka saya akan mengajak Anda melihatnya dari sisi yang berbeda. Perjalanan hidup terkadang memang aneh, justru dari pelacur hina itulah saya mendapat pelajaran berharga tentang arti sebuah asa.
Pada suatu kesempatan wawancara, seorang pelacur ditanya, “Apakah mbak tidak ingin meninggalkan kehidupan seperti ini dengan hidup normal dan membina sebuah keluarga?“ pelacur tersebut menjawab “Justru karena saya ingin punya suami, maka setiap melayani tamu saya berdoa kepada Gusti Allah agar tamu tersebut senang kepada saya dan kelak menjadi suami saya!”

Jawaban yang luar biasa. Bayangkan, dalam keadaan berzina saja ia berdoa! Asa, harapan atau Roja’ (dalam terminologi Islam) bukan hanya sekadar kata yang diucapkan, namun oleh pelacur tersebut Roja’ sudah menjadi bagian dari hidupnya sendiri.

Manfaat Kopi

Coffee meskipun kopi pertama kali dikenal oleh manusia sebagai tanaman obat, dunia kedokteran modern sudah lama mencurigai kopi sebagai penyebab atau pemicu berbagai penyakit. Mengapa kopi, bukan makanan atau minuman lainnya? Mungkin karena kopi sama sekali tidak mempunyai kandungan nutrisi, tapi dapat membuat manusia merasa lebih baik tanpa sebab-sebabyang jelas.
Namun para pecinta kopi di dunia dapat bernafas sedikit lebih lega karena setelah lebih dari 20 tahun penelitian yang intensif, sampai sekarang belum bisa dibuktikan bahwa kebiasaan minum kopi dalam jumlah yang wajar berhubungan dengan penyakit apapun atau gangguan kehamilan. Namun untuk amannya bila anda sedang hamil atau memiliki masalah kesehatan tertentu, ada baiknya anda mengkonsultasikan kebiasaan minum kopi anda kepada dokter. Ini juga dianjurkan kepada mereka yang memiliki tingkat kolesterol tinggi, penyakit jantung, gejala kanker payudara, atau gangguan pencernaan. Sekali lagi, sampai saat ini tidak ada penelitian yang berhasil membuktikan adanya hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan penyakit-penyakittersebut, tapi tidak ada salahnya kalau kita lebih waspada.

Kandungan Kafein dalam Makanan
atau Minuman:
§      Satu cangkir kopi rata-rata mengandung 100-150 miligram kafein.
§      Satu demitasse (cangkir mini untuk espresso) single-espresso rata-ratamengandung 80-120 miligram kafein.
§      Satu cangkir teh rata-rata mengandung 40 miligram kafein.
§      Satu batang coklat ukuran sedang rata-rata mengandung 20-60 miligram kafein.
§    Satu botol minuman kola berukuran 340ml mengandung 40-60 miligram kafein, atau kira-kira separuh kandungan kafein dalam secangkir kopiatau espresso.

Efek Jangka Pendek
a)     Dalam “The Pharmacological Basis of Therapeutics” oleh Dr. J. Murdoch Ritchie disebutkan bahwa:
Efek positif dari kafein antara lain: menambah kecepatan berpikir dan inspirasi, menyembuhkan rasa ngantuk dan kelelahan, peningkatan sensor stimuli dan reaksi motorik; misalnya seorang yang mengetik akan dapat bekerja lebih cepat dan dengan tingkat kesalahan lebih kecil.
Secara kedokteran, menurut Dr. Ritchie, kafein yang terkandung dalam 1 sampai 2 cangkir kopi dapat menambah detak jantung, melebarkan pembuluh darah, mendorong aliran sampah-sampah cair maupun padat dari dalam tubuh, sehingga badan kita terasa lebih “segar”.
b)   Efek negatif kafein bila diserap oleh tubuh secara berlebihan antara lain: kecemasan kronis, gelisah, lekas marah, insomnia, otot berkedut, dan diare. Kafein dalam jumlah yang lebih besar (yang dikandung oleh misal 10 cangkir kopi yang diminum berturut-turut) akan bersifat racun bagi tubuh. Efek yang ditimbulkan antara lain: muntah, demam, dan kebingungan secara mental. Kafein dalam jumlah yang sangat besar bahkan dapat menjadi zat yang mematikan. Dosis mematikan bagi manusia adalah sekitar 10 gram, atau kira2 100 cangkir kopi yang diminum berturut-turut. Jadi jangan coba-cobabunuh diri dengan cara ini, karena kemungkinan besar di cangkir ke 75 perut anda sudah kembung dan tidak kuat minum lagi. Hehe..

Efek Jangka Panjang

       Para peneliti sejak lebih dari 20 tahun lalu sudah berusaha menghubungkan kopi atau kafein yang terkandung di dalamnya dengan berbagai macam penyakit, tapi sampai sekarang tidak mendapatkan bukti yang meyakinkan. Tahun 70-an di Amerika Serikat pernah dipublikasikan bahwa meminum 12-24 gelas kopi sehari dapat menyebabkan gangguan kehamilan.. pada tikus. Tubuh manusia mungkin mempunyai metabolisme yang berbeda untuk mengolah kafein kan? Yang perlu diperhatikan, meski anda sedang hamil atau tidak, adalah konsumsi yang wajar.

Jumlah Konsumsi yang Wajar

       Jadi dalam jumlah yang wajar kafein dapat membantu pikiran, pekerjaan, dan pergaulan, tapi akan berubah menjadi racun bila dikonsumsi secara berlebihan. Jumlah yang tepat berbeda untuk tiap orang. Yang bisa dijadikan pedoman adalah bahwa sampai saat ini tidak ada penelitian yang menyebutkan efek-efek negatif kafein terjadi bila dikonsumsi dengan dosis di bawah 300 miligram sehari. Bila 1 demitasse single-espresso mengandung sekitar 100 miligram kafein, berarti kita bisa minum sampai dengan 3 cangkir espresso sehari dengan aman tanpa terpengaruh efek negatif dari kafein; dengan asumsi anda tidak minum terlalu banyak minuman kola, makan coklat, atau minum obat sakit kepala di hari yang sama. Namun seperti saya sebutkan di atas, efek kafein pada tiap orang berbeda-beda. Ada orang yang biasa minum sampai 5 cangkir espresso dalam sehari dan tidak merasakan efek negatifnya.
Manfaat Kopi Bagi Kesehatan
Telah lama orang curiga akan efek negatif dari kopi, sehingga sedikit mengejutkan bahwa penelitian terakhir menunjukkan bahwa mengkonsumsi 2-4 cangkir kopi setiap hari mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Di antaranya:
ü  mengurangi resiko kanker usus besar sampai 25% (dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi kopi).
ü  mengurangi resiko batu empedu sampai 45%,
ü  mengurangi resiko sirosis hati sampai 80%,
ü  mengurangi resiko penyakit Parkinson 50-80%,
ü  mengurangi frekuensi serangan asma sampai 25%, dan
ü  menurut pengamatan banyak perawat selama beberapa tahun, mengurangi tingkat bunuh diri.

     Tapi bila saya seorang perawat yang ditugaskan untuk mengamati kecenderungan bunuh diri pasien selama beberapa tahun, kecenderungan saya untuk bunuh diri memang akan lebih besar bila saya tidak diperbolehkan minum kopi.
Manfaat lain:
Kopi juga dapat membantu menghilangkan bau menyengat, misal karena bekas bangkai binatang atau kotoran binatang. Caranya buat kopi hitam pekat tanpa gula dan siram ke tempat bekas bangkai tersebut.


Disadur dari Coffee and Health (Adapted from Coffee: A Guide to Buying, Brewing & Enjoying; Espresso: Ultimate Coffee; and Home Coffee Roasting: Romance & Revival. St. Martin’s Press) by Kenneth Davis.

Bagaimana Kita Menjadi Cerdas

Ungkapan Howard Gardner dalam bukunya, Frames of Mind, itu mengirimkan pesan betapa mahal harga kecerdasan bagi manusia. Karena itu, kajian tentang kecerdasan manusia masih menjadi tema yang menarik diperbincangkan, baik dalam forum serius maupun santai seraya lesehan. Sebab, segala tingkah laku manusia sesungguhnya merupakan aspek turunan referensial sekaligus wujud dari kinerja saraf-saraf kecerdasan itu sendiri.
Bermula dari Kecerdasan Intelektual atawa Intelligence Quotient (IQ). Istilah IQ pertama kali dilontarkan Alfred Binet, seorang psikolog Perancis pada awal abad ke-20. Namun sebenarnya embrio konsep IQ disuluh Charles Spearman (1904) dengan teori Two Factor dan juga Thurstone (1938) dengan teori Primary MentalAbilities. Hatta, di kemudian hari Lewis Terman dari Universitas Stanfordberupaya membakukan tes IQ yang selanjutnya dikenal dengan Tes Stanford-Binet.
Konsep IQ selama puluhan tahun diyakini sebagai parameter kecerdasan manusia yang terletak di otak bagian cortex (kulit otak). Daya kreasi hitungan, analogi, dan imajinasi inovatif merupakan ciri khas kecerdasan ini. Maka, tepatlah jika kecerdasan intelektual ditandai dengan istilah what I think.

Hingga menjelang akhir abad ke-20, dominasi kecerdasan intelektual mulai digoyang Daniel Goleman saat memopulerkan Kecerdasan Emosional alias Emotional Quotient (EQ). Seturut konsepsi Goleman, dengan kecerdasan emosi manusia sanggup mengenali perasaan sendiri di tengah jejaring relasi sosial, sehingga mampu mengelola letup-letup emosi ketika berinteraksi dengan sesama. Dengan demikian, IQ yang memuja paradigma linieritas mulai goyah dengan paradigma biner EQ. Manusia dianggap baik dan karena itu patut diapresiasi tidak semata-mata pintar dengan skor tes IQ tinggi, tetapi lebih-lebih lantaran ia mampu menempatkan diri secara sinergis-mutualistis dalam konteks interaksi horizontal. Para psikolog mengunci jenis EQ dengan istilah what I feel.
Namun belakangan EQ masih dirasa belum cukup di tengah deru era modern yang menghamba pada kecanggihan teknologi informasi ini. Manusia di era modern acapkali mengalami kegersangan spiritual. Lantas muncullah konsep Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) di altar abad ke-21. Hasil riset Danah Zohar (HarvardUniversity) dan Ian Marshall (Oxford University) yang dihelat dalam Spiritual Capital serta merujuk The Binding Problem karya Wolf Singer, menemukan adanya God Spot dalam otak manusia. God Spot ini dianggap sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di antara jaringan otak dan saraf yang memintal jalinan makna terhadap pengalaman hidup. Intinya, SQ menuntun manusia mengarungi samudera kebermaknaan hidup.
Sampai di sini muncul ide kreatif Ary Ginanjar Agustian yang mencoba menggabungkan EQ dan SQ dengan cetusan Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Dengan mengusung ESQ Ary Ginanjar hendak menjernihkan kembali pemikiran menutu God Spot, menciptakan format berpikir dan emosi bersandar pada kesadaran diri (self awareness), mengupayakan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan mengacu pada asas-asas Rukun Islam, serta melakukan aliansi sinergis dengan lingkungan sosial.

Hanya saja konsepsi ESQ yang diusung Ary Ginanjar masih mengabaikan ruang ruhani dengan segala perangkatnya (dzauq, aql, shadr, fu’âd, qalb, bashîrah,dan lubb) yang beroperasi di wilayah hati. Bahkan masing-masing logika IQ, EQ, dan SQ pun setali tiga uang. Ketiganya takkan sanggup mengungkap kebenaran realitas dengan se­benar-benarnya dan seterang-terangnya. Apalagi arus globalisasi dan teknologi informasi yang terus bergelombang acapkali menciptakan pusaran persoalan yang pelik. Tak jarang manusia tiba-tiba tergeragap. Menyadari betapa akal buntu berpikir dan bebal. Emosi pun liar serupa daun kering yang mudah terbakar. Sampai-sampai terombang-ambing di tengah ketidakpastian.

Fenomena ini sering menghantui masyarakat modern di tengah realitas serba tak terduga (hiperrealitas). Potensi kecerdasan IQ, EQ, SQ, dan ESQ tak mampu lagi menjadi sandaran. Untuk itu, dibutuh­kan sebuah logika yang lebih luas dan lebih dalam dari itu. Dan, pada ruang inilah karya monumental Ilung S.Enha menemukan signifikansinya. Dengan trengginas, Ilung mendedahkan konsep kecerdasan baru, yakni Kecerdasan Laduni atau Laduni Quotient (LQ). Sebab, logika laduni merupakan pengejawantahan dari kecerdasan ruhaniah yang merupakan puncak akumu­lasi dari logika rasional, logika intuitif, dan logika spiritual.
LQ mengusung misi memadukan perangkat kecerdasan otak dan perangkat kecerdasan hati, untuk kemudian dihu­bung­kan ke pusat atmosfir energi ruh. Sebab, untuk dapat mem­fungsi­kan LQ dibutuhkan energi yang sangat besar. Sedangkan energi yang berkumpar di dalam hati, masih kurang mencukupi. Apalagi sekadar energi yang terkandung di dalam otak manusia.
Di ruang pusat atmosfir energi ruh terkandung segala bentuk energi yang dibutuhkan bagi keberlangsungan hidup ma­nusia dan guna mempercepat proses kecerdasan. Tak hanya ener­gi kecerdasan yang tersimpan di sana, melainkan juga ener­gi kesadaran, energi kekuatan, energi kecermatan, energi perce­pat­an, energi kesabaran, energi keikhlasan, energi gerak yang tiada kenal putus asa, energi niat dan kesungguhan, energi ino­vasi, energi hening dan kebeningan, serta sederet energi-energi lain yang bisa diurai sendiri.

Dan, buku ini bakal menuntun pembaca untuk meniti jembatan LQ. Buku ini secara jeli menyingkap celah-celah kosong yang dilewati IQ, EQ, SQ, dan ESQ. Berbeda dengan buku-buku kecerdasan lain yang kebanyakan bertutur tentang kecerdasan secara teoritis, buku ini beranjak lebih jauh. Wacana kecerdasan laduni tidak sekadar dihamparkan, akan tetapi dikaji dengan kritis untuk direkonstruksi, sehingga kesan kecerdasan laduni yang rumit dan berbelit-belit segera runtuh. Inilah kontribusi Ilung yang laik diapresiasi. Di tangan Ilung, kecerdasan laduni yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang berat menjadi ringan dan begitu santai