Saturday, 26 October 2013

Bagaimana Kita Menjadi Cerdas

Ungkapan Howard Gardner dalam bukunya, Frames of Mind, itu mengirimkan pesan betapa mahal harga kecerdasan bagi manusia. Karena itu, kajian tentang kecerdasan manusia masih menjadi tema yang menarik diperbincangkan, baik dalam forum serius maupun santai seraya lesehan. Sebab, segala tingkah laku manusia sesungguhnya merupakan aspek turunan referensial sekaligus wujud dari kinerja saraf-saraf kecerdasan itu sendiri.
Bermula dari Kecerdasan Intelektual atawa Intelligence Quotient (IQ). Istilah IQ pertama kali dilontarkan Alfred Binet, seorang psikolog Perancis pada awal abad ke-20. Namun sebenarnya embrio konsep IQ disuluh Charles Spearman (1904) dengan teori Two Factor dan juga Thurstone (1938) dengan teori Primary MentalAbilities. Hatta, di kemudian hari Lewis Terman dari Universitas Stanfordberupaya membakukan tes IQ yang selanjutnya dikenal dengan Tes Stanford-Binet.
Konsep IQ selama puluhan tahun diyakini sebagai parameter kecerdasan manusia yang terletak di otak bagian cortex (kulit otak). Daya kreasi hitungan, analogi, dan imajinasi inovatif merupakan ciri khas kecerdasan ini. Maka, tepatlah jika kecerdasan intelektual ditandai dengan istilah what I think.

Hingga menjelang akhir abad ke-20, dominasi kecerdasan intelektual mulai digoyang Daniel Goleman saat memopulerkan Kecerdasan Emosional alias Emotional Quotient (EQ). Seturut konsepsi Goleman, dengan kecerdasan emosi manusia sanggup mengenali perasaan sendiri di tengah jejaring relasi sosial, sehingga mampu mengelola letup-letup emosi ketika berinteraksi dengan sesama. Dengan demikian, IQ yang memuja paradigma linieritas mulai goyah dengan paradigma biner EQ. Manusia dianggap baik dan karena itu patut diapresiasi tidak semata-mata pintar dengan skor tes IQ tinggi, tetapi lebih-lebih lantaran ia mampu menempatkan diri secara sinergis-mutualistis dalam konteks interaksi horizontal. Para psikolog mengunci jenis EQ dengan istilah what I feel.
Namun belakangan EQ masih dirasa belum cukup di tengah deru era modern yang menghamba pada kecanggihan teknologi informasi ini. Manusia di era modern acapkali mengalami kegersangan spiritual. Lantas muncullah konsep Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) di altar abad ke-21. Hasil riset Danah Zohar (HarvardUniversity) dan Ian Marshall (Oxford University) yang dihelat dalam Spiritual Capital serta merujuk The Binding Problem karya Wolf Singer, menemukan adanya God Spot dalam otak manusia. God Spot ini dianggap sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di antara jaringan otak dan saraf yang memintal jalinan makna terhadap pengalaman hidup. Intinya, SQ menuntun manusia mengarungi samudera kebermaknaan hidup.
Sampai di sini muncul ide kreatif Ary Ginanjar Agustian yang mencoba menggabungkan EQ dan SQ dengan cetusan Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Dengan mengusung ESQ Ary Ginanjar hendak menjernihkan kembali pemikiran menutu God Spot, menciptakan format berpikir dan emosi bersandar pada kesadaran diri (self awareness), mengupayakan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan mengacu pada asas-asas Rukun Islam, serta melakukan aliansi sinergis dengan lingkungan sosial.

Hanya saja konsepsi ESQ yang diusung Ary Ginanjar masih mengabaikan ruang ruhani dengan segala perangkatnya (dzauq, aql, shadr, fu’âd, qalb, bashîrah,dan lubb) yang beroperasi di wilayah hati. Bahkan masing-masing logika IQ, EQ, dan SQ pun setali tiga uang. Ketiganya takkan sanggup mengungkap kebenaran realitas dengan se­benar-benarnya dan seterang-terangnya. Apalagi arus globalisasi dan teknologi informasi yang terus bergelombang acapkali menciptakan pusaran persoalan yang pelik. Tak jarang manusia tiba-tiba tergeragap. Menyadari betapa akal buntu berpikir dan bebal. Emosi pun liar serupa daun kering yang mudah terbakar. Sampai-sampai terombang-ambing di tengah ketidakpastian.

Fenomena ini sering menghantui masyarakat modern di tengah realitas serba tak terduga (hiperrealitas). Potensi kecerdasan IQ, EQ, SQ, dan ESQ tak mampu lagi menjadi sandaran. Untuk itu, dibutuh­kan sebuah logika yang lebih luas dan lebih dalam dari itu. Dan, pada ruang inilah karya monumental Ilung S.Enha menemukan signifikansinya. Dengan trengginas, Ilung mendedahkan konsep kecerdasan baru, yakni Kecerdasan Laduni atau Laduni Quotient (LQ). Sebab, logika laduni merupakan pengejawantahan dari kecerdasan ruhaniah yang merupakan puncak akumu­lasi dari logika rasional, logika intuitif, dan logika spiritual.
LQ mengusung misi memadukan perangkat kecerdasan otak dan perangkat kecerdasan hati, untuk kemudian dihu­bung­kan ke pusat atmosfir energi ruh. Sebab, untuk dapat mem­fungsi­kan LQ dibutuhkan energi yang sangat besar. Sedangkan energi yang berkumpar di dalam hati, masih kurang mencukupi. Apalagi sekadar energi yang terkandung di dalam otak manusia.
Di ruang pusat atmosfir energi ruh terkandung segala bentuk energi yang dibutuhkan bagi keberlangsungan hidup ma­nusia dan guna mempercepat proses kecerdasan. Tak hanya ener­gi kecerdasan yang tersimpan di sana, melainkan juga ener­gi kesadaran, energi kekuatan, energi kecermatan, energi perce­pat­an, energi kesabaran, energi keikhlasan, energi gerak yang tiada kenal putus asa, energi niat dan kesungguhan, energi ino­vasi, energi hening dan kebeningan, serta sederet energi-energi lain yang bisa diurai sendiri.

Dan, buku ini bakal menuntun pembaca untuk meniti jembatan LQ. Buku ini secara jeli menyingkap celah-celah kosong yang dilewati IQ, EQ, SQ, dan ESQ. Berbeda dengan buku-buku kecerdasan lain yang kebanyakan bertutur tentang kecerdasan secara teoritis, buku ini beranjak lebih jauh. Wacana kecerdasan laduni tidak sekadar dihamparkan, akan tetapi dikaji dengan kritis untuk direkonstruksi, sehingga kesan kecerdasan laduni yang rumit dan berbelit-belit segera runtuh. Inilah kontribusi Ilung yang laik diapresiasi. Di tangan Ilung, kecerdasan laduni yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang berat menjadi ringan dan begitu santai

No comments:

Post a Comment