Wednesday, 30 October 2013

Kecerdikan Orang Kecil


Abu Nawas diminta memberikan ceramah di hadapan pembesar negeri. Semua sudah tahu bahwa para pembesar negeri tersebut suka memras rakyat kecil dengan berbagai sumbangan wajib dan upeti-upeti terselubung. Yaitu jika rakyat memerlukan wewenang mereka untuk menyelesaikan suatu urusan.
Dalam ceramahnya, Abu Nawas lantas bercerita:
“Pada suatu ketika beberapa negara mengadakan pertandingan. Yang ikut bertanding adalah wakil-wakil dari negara Hitam, Putih, Bule, Kuning, dan juga negara kita. Pertandingannya sendiri sebenarnya tidak istimewa. Hanya memeras handuk basah. Siapa yang berhasil mengocorkan air paling banyak dari handuk yang hampir kering itu, dialah yang menang.
“Majulah orang Hitam yang terkenal kuat-kuat. Ia mengangkat handuk itu, lalu memerasnya sekuat tenaga. Namun, hasilnya Cuma beberapa tetes air.
“Sekarang giliran orang Putih yang termahsyur kesaktiannya. Ternyata air yang keluar dari handuk itu juga hanya sedikit.
“Orang Bule yang tersohor sombong pun demikian pula kesudahannya. Walaupun ia sudah berkutat sampai berkeringat, handuk itu Cuma mengeluarkan beberapa titik air.
“Tibalah saatnya orang Kuning yang bangsanya menguasai dua pertiga dunia dengan kecerdikan dan kekuatannya. Memang, orang kuning boleh saja merajalela di jalan-jalan, di pasar-pasar, dan di istana orang-orang berpangkat. Namun, ketika ia memeras handuk yang setengah kering itu, air yang mengucur juga tidak banyak. Hanya beberapa ciprat saja.
“Maka majulah wakil negara kita. Orangnya kecil, kerempeng dan pucat pasi, hingga para wakil negara lainnya mencibirkan bibir. Mana mungkin orang sekurus itu dapat menandingi mereka?
“Tetapi, sungguh mencengangkan. Walaupun ketika mengangkat handuk itu wakil negara kita tersebut sudah keberatan, pada waktu memerasnya air yang keluar banyak sekali, sampai timbul banjir dimana-mana.
“Dengan takjub lawan-lawannya bertanya serempak, ‘Sangat mengherankan. Bagaimanakah Tuan yang kecil dan kurus dapat memeras handuk itu sampai airnya melimpah ruah?”
“Sambil membusungkan dada, wakil negara kita itu lantas menjawab, ‘Wahai Tuan-tuan. Tentu saja tak kan bisa menandingi saya dalam pertandingan memeras handuk ini. Sebab di negeri saya, soal peras-memeras memang merupakan kebiasaan sehari-hari, di mana-mana.’”
Mendengar ceramah Abu Nawas tersebut para pembesar negeri yang sering melakukan pemerasan itu tertunduk. Mereka merasa malu dan berjanji tak kan mengulangi perbuatan buruk itu lagi.
Itulah sekelumit kecerdikan orang kecil yang tidak punya banyak ilmu, harta, maupun kekuasaan. Otaknya bisa berputar lancar dalam keadaan terpaksa untuk mencari keselamatn dan jalan keluar.
Sama seperti yang dialami oleh seorang jemaah haji dari Sunda di Tanah Suci Makkah. Ia tersesat ketika hendak tawaf mengelilingi Ka’bah. Ia telah mencari-cari, di manakah Masjidil Haram, mau bertanya-tanya ia hanya bisa berbahasa Sunda. Padahal dari tadi tidak dijumpainya orang sekampung.
Alangkah gembiranya orang Sunda itu ketika bertemu dengan jemaah lain yang kulitnya sama. Disangkanya orang itu berasal sedaerah dengannya. Maka dengan bahasa Sunda yang lancer ia bertanya:
“Punten. Palih mana nu bade ka Masjidil Haram?” Maksudnya menanyakan arah menuju Masjidil Haram.
Tahu-tahu jamaah yang ditanya bukan orang Sunda. Kulitnya sama, tetapi bahasanya berbeda. Sebab ia orang Jawa totok yang hanya mengerti bahasa Jawa. Karena itu orang tersebut menggeleng seraya menjawab, “Lhah. Boten ngertos.” Artinya, tidak mengerti apa yang ditanyakan.
Tetapi orang Sunda itu tidak kehabisan akal. Ia berpikir, orang Jawa itu toh biasa bersembahyang, dan pasti mengerti bahasa Jawanya surah Al-Fatihah, sebab surah itu wajib dibaca dalam sembahyang.
Ia pun lantas berkata, “Punten. Ihdina Masjidil Haram.” (Ihdina adalah salah satu kalimat dalam Al-Fatihah yang maknanya berilah kami petunjuk.”
Betul juga. Orang Jawa itu paham maksudnya. Maka sambil tertawa orang itu menjawab. ”Shirathal mustaqim.” (Ini juga terdapat dalam Al-Fatihah yang bahasa kitanya berarti jalan lurus.)
Orang Sunda itu dengan suka cita mengucapkan terima kasih, lalu berjalan lurus ke depan. Beberapa langkah di muka ia agak kebingungan. Yang lurus jalannya kecil, sedangkan yang lebar jalannya ke sebelah kiri. Jadi ia menempuh jalan yang agak ke kiri itu karena lebih lebar.
Dari kejauhan orang Jawa tadi berteriak, “Waladl dlallin. Mustaqim. Jangan tersesat. Lurus saja.”

Dengan peringatan terakhir itu, orang Sunda tersebut berhasil mencapai tempat yang dituju, Masjidil Haram, yang tengahnya terdapat Ka’bah, tempat ia akan melakukan tawaf tujuh kali putar.

No comments:

Post a Comment