Sebuah kalimat pendek yang ditulis Kakak saya pada paragraf kedua dalam blog pribadinya, menarik perhatian saya untuk terus membaca blognya itu hingga akhir. Artikel Kakak saya itu bisa dibaca di : http://cantik40s.blogspot.com/2009/04/pemilu.html
Kalimat pendek yang saya maksudkan itu adalah : Tapi iyalah. Ini namanya nikah kontrak.
Pemilu 2009 = nikah kontrak? Kalau dipikir-pikir, pernyataan tersebut ada benarnya.
Selama lima tahun kedepan nanti, kita sangat berharap agar wakil rakyat yang namanya kita contreng dalam pelaksanaan pemilu tanggal 9 April 2009 esok, tanpa diminta serta diingatkan, akan selalu mengingat dan mengayomi kita, sebagai balas imbalan karena kita telah bersedia memilih untuk mencontreng nama atau foto sang caleg agar bisa menjadi bagian dari anggota DPR, DPRD, atau DPD, dengan mendapatkan panggilan : Anggota Dewan Yang Terhormat.
Sejumlah anggota masyarakat mengatakan, hampir 98 % orang caleg yang ikut dalam kegiatan pemilu 2009 besok, merupakan bagian dari orang-orang yang benar-benar tidak mereka kenal secara pribadi.
Mereka juga mengatakan, kalau mereka tidak pernah bertemu atau bertatap muka secara langsung, pernah bertemu tanpa disengaja di suatu tempat namun tidak bertegur sapa, atau mereka juga baru sekali saja bertemu dengan caleg, itupun atas permintaan sang caleg.
Bukankah seperti itu keadaan yang tercipta pada saat terjadi nikah kontrak? Bukankah seperti itu pula peristiwa yang akan kita alami pada saat kita akan mencontreng (apakah dengan mikir-mikir dahulu di bilik TPS atau dengan penuh semangat dan percaya diri angsung memilih) nama salah seorang caleg yang kita pilih dari antara ratusan nama caleg yang terdapat dalam satu lembar kertas surat suara?
Apabila ikut memilih dalam pelaksanaan pemilu tanggal 9 April 2009 nanti, nampaknya akan banyak dari antara kita yang memang benar-benar berada pada satu situasi penuh dilema.
Dilema tercipta karena hingga beberapa menit sebelum kita mencontreng salah satu nama dari ratusan nama caleg dalam satu lembar kertas suara, kita "seakan-akan" dipaksa harus segera menentukan pilihan, dengan memilih salah seorang dari antara orang-orang yang : benar-benar tidak pernah mencoba mencari tahu siapa kita, atau memilih orang-orang yang benar-benar tidak berusaha untuk mengenal siapa kita.
Kondisi seperti itulah yang tidak ingin dihadapi oleh sejumlah orang yang beramai-ramai berniat untuk golput.
Pada prinsipnya, mereka yang akan golput, tidak mau salah memilih caleg, yang ternyata memiliki kepribadian bagaikan kucing garong, seseorang yang ternyata hanya haus kekuasaan semata, atau bahkan, seorang caleg yang sepertinya malu-malu kucing, namun ternyata berbakat menjadi koruptor.
Mereka yang berniat untuk golput pada pemilu tanggal 9 April 2009 nanti mengatakan : untuk apa kita memilih sejumlah orang yang kenyataannya benar-benar tidak kita kenal, memilih sejumlah orang yang kenyataannya benar-benar tidak pernah mencoba mencari tahu siapa, apa, dan bagaimanakah kita, atau memilih orang-orang yang kenyataannya memang tidak berusaha untuk mengenal siapa kita?
Fakta sejarah menyatakan, ketika caleg telah berhasil mencapai kursi DPR, DPD, atau DPRD, ternyata masih banyak anggota DPR, DPRD, atau DPD yang tetap memelihara sikap tidak pernah benar-benar mencoba untuk mencari tahu atau tidak pernah benar-benar mencoba untuk mengenal siapa sesungguhnya para anggota masyarakat yang telah memilihnya. Entah kenapa, sikap seperti itu akan kembali dipertontonkan kepada masyarakat setelah mereka terpilih menjadi anggota Dewan.
Sikap yang seperti itukah yang ingin ditonjolkan oleh para caleg kita hingga saat ini?
Seratus tujuh puluh juta lebih warga masyarakat pada hari pelaksanaan pemilu, seolah-olah “digiring” untuk berani ambil resiko dengan menentukan pilihan mereka atas sejumlah nama dari ratusan nama caleg yang ada di lembar kertas suara dengan menyontreng salah satu namanya.
Upaya pemaksaan seperti ini tentu saja tidak adil bagi masyarakat karena hingga menjelang hari pemilihan umum, banyak anggota masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang baik dan memadai akan tingkat kredibilitas maupun kapabilitas dari orang-orang yang akan dipilihnya.
Oleh sebab itu, keberhasilan setiap caleg yang dapat meraih satu kursi di DPR, DPRD, maupun DPD di Indonesia, sesungguhnya tidak diperoleh karena dirinya memang memiliki kemampuan baik untuk dapat meyakinkan warga masyarakat agar memilih dirinya, akan tetapi karena “kebaikkan” sejumlah komunitas masyarakat yang ingin tetap menyalurkan aspirasi politik mereka meskipun mereka sendiri tidak tahu apa, siapa, dan bagaimana caleg yang dipilihnya itu.
Tentunya, kebaikkan sejumlah komunitas masyarakat itu diiringi dengan adanya suatu harapan besar, yaitu suara mereka diperjuangkan oleh wakil rakyatnya. Dalam hal ini, prinsip simbiosis mutualisme, berlaku.
Sayangnya, harapan masyarakat yang sudah mengambil resiko untuk memilih orang yang tidak mereka kenal agar menjadi wakil rakyat mereka di DPR, DPRD, atau DPD, sering kali hanya dimanfaatkan sebagai media meraih perolehan suara semata, dan bukannya sebagai suatu komunitas masyarakat yang seharusnya didengarkan serta diayomi kemudian.
Masalahnya, sikap acuh tak acuh atau sikap tidak pernah benar-benar mencoba mencari tahu atau mengenal siapa sesungguhnya anggota masyarakat yang memilihnya, yang telah ada semenjak masa kampanye, bisa dibilang, telah menjadi budaya dalam diri para caleg kita dari masa ke masa.
Para caleg yang pada awal mulanya bersikap manis kepada masyarakat, setelah menjadi anggota DPR, DPRD, atau DPD, kemudian berbalik arah meninggalkan masyarakat yang telah membuat mereka meraih mimpi, yaitu menjadi bagian dari warga Anggota Dewan yang Terhormat. Mereka bagaikan kacang yang lupa pada kulitnya.
Oleh kemampuan bujuk rayu yang teramat baik, para caleg datang pada komunitas masyarakat agar diri mereka dapat dipinang dan dipilih masyarakat pada saat pemilu.
Antara pribadi yang saling tidak mengenal, mereka ingin saling meminang, layaknya rencana dua insan anak manusia yang ingin melakukan nikah kontrak. Pertautan mungkin terjadi, namun kebanyakkan hanya berlangsung sesaat waktu saja. Ketika sang caleg telah berhasil mendapatkan “madunya” (suara dari komunitas masyarakat yang berhak memilih), maka komunitas masyarakat itupun, ditinggalkan.
Dulu dan sekarang, sama saja. Peristiwa “nikah kontrak” antara caleg dengan komunitas masyarakat saat pelaksanaan pemilu, pada akhirnya merugikan masyarakat, karena sang caleg hanya mau “diberi” namun tak mau “memberi”. Kalau caleg yang memegang prinsip seperti itu, sebaiknya gak kita pilih dalam pemilu besok, 9 April 2009....
Selamat memilih, selamat berpartisipasi dalam pesta demokrasi.
GBU Everybody
.Ir. Sarlen Julfree Manurung
No comments:
Post a Comment