Monday, 27 April 2009

Haruskah Musik Dangdut Punah?

Tadi siang (20/01/09), saya menonton tayangan infotainment SILET yang membahas tentang fenomena semakin tenggelamnya musik dangdut beberapa waktu belakangan ini.

Benarkah musik dangdut sudah kehilangan pangsa pasarnya?

Penilaian tersebut nampaknya tidak tepat seluruhnya dan terlalu cepat disampaikan sebagai sebuah bentuk kegelisahan masyarakat penyanyi serta musisi dangdut Indonesia semata. 

Alasannya, sepertinya kesimpulan tersebut tidak lengkap atau tidak didasarkan pada sejumlah faktor faktual yang bisa dijadikan bahan petunjuk untuk menjelaskan kenapa kesimpulan seperti itu.

Saya sendiri masih menemukan adanya pentas dangdut (khususnya skala resepsi pernikahan) yang menghadirkan sejumlah penyanyi dangdut. Meskipun banyak penyanyi dangdut itu bukanlah penyanyi terkenal, namun masih banyak mengundang animo masyarakat untuk menyaksikan aksi mereka.

Artinya, penilaian bahwa telah terjadi sebuah fenomena semakin tenggelamnya musik dangdut di Indonesia, hanya didasarkan pada tampilan on-air (di radio atau di televisi) serta peredaran kaset atau CD lagu-lagu dangdut.

Saya sendiri berpendapat, ada tiga faktor yang menyebabkan "seakan-akan" musik dangdut semakin tenggelam dalam perkembangan musik Indonesia, terutama karena sedang bangkitnya industri musik pop, yang sedang membanjiri pasaran penjualan dan pentas musik di Indonesia karena banyak bermunculannya band-band dan penyanyi baru, dimana mereka membawakan lagu-lagu yang dapat diterima telinga masyarakat pencinta atau pendengar musik di Indonesia. 
Adapun faktor-faktor tersebut :

Faktor pertama

Dalam beberapa bulan terakhir, memang telah terjadi penurunan grafik pendengar musik dangdut, yang disebabkan oleh turunnya produktifitas industri rekaman lagu-lagu dangdut beberapa waktu belakangan ini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan angka penjualan kaset dan CD lagu-lagu pop, yang sedang mengalami peningkatan saat ini sedang membanjiri pasar.

Adanya penurunan angka produksi rekaman kaset serta CD secara drastis, kemungkinan besar terjadi karena berkurang atau tidak adanya lagu-lagu dangdut baru karya pencipta lagu dangdut yang dianggap layak untuk dijual ke masyarakat.

Seperti halnya kegiatan industri rekaman lagu-lagu beraliran pop, para pemilik label (dalam hal ini industri rekaman), tentunya mencari karya-karya cipta lagu dangdut yang memiliki nilai jual dan diharapkan bisa laku di pasaran. Sedangkan sebagai sebuah kegiatan industri, tentunya mereka menginginkan adanya keuntungan dari penjualan kaset serta CD yang mereka lakukan.

Nampaknya, para pencipta lagu dangdut sedang memasuki masa-masa jenuh, dimana mereka tidak dalam kondisi produktif untuk menciptakan karya lagu dangdut yang dapat diterima masyarakat, khususnya para pencinta lagu-lagu dangdut.

Kesimpulannya, kurangnya lagu baru karya cipta pencipta lagu dangdut, membuat produksi kaset atau CD lagu-lagu dangdut tidak dapat membanjiri pasaran sehingga terkesan ada fenomena semakin tenggelamnya dangdut dalam kancah musik nasional.

Faktor kedua

Maraknya sikap tidak simpatik yang ditunjukkan kalangan tertentu dan dipublikasikan media massa atas penampilan para penyanyi dangdut di pentas-pentas musik dangdut, membuat masyarakat kesulitan untuk mendapatkan hiburan musik dangdut.

Hadirnya kritik pedas dengan memanfaatkan issue moral, membuat banyak media elektronik secara tidak langsung atau secara langsung, mulai membatasi tampilan acara musik dangdut atau melakukan seleksi ketat atas artis-artis dangdut yang akan mengisi acara.

Sedangkan pada sisi lain, adanya kritik pedas dari sejumlah institusi atau tokoh-tokoh masyarakat, membuat banyak pihak yang ingin menghadirkan pentas dangdut, membatalkan niat tersebut karena mereka takut mendapatkan kecaman atau pencekalan, yang bisa menimbulkan kerugian di pihak panitia penyelenggaranya.

Padahal, oleh karena kritik pedas tersebut, sudah cukup banyak penyanyi dangdut yang akhirnya lebih memilih untuk pentas secara off-air di daerah-daerah, khususnya di daerah-daerah yang belum atau tidak menerapkan akidah moral untuk mencekal penampilan mereka di pentas musik dangdut.

Kemunculan banyak "polisi moral" yang bertindak atau membuat pernyataan dengan membawa-bawa akidah moral, telah mengurangi ruang gerak para penyanyi dangdut untuk tampil dan menunjukkan eksistensinya di dunia panggung musik dangdut dan tampil secara on-air di acara-acara musik di televisi. 

Wajar rasanya kalau "kekosongan" penampilan penyanyi dangdut yang muncul dalam pentas musik dangdut on-air, kemudian menjadi penilaian bahwa telah terjadi sebuah fenomena semakin tenggelamnya musik dangdut dalam kancah industri musik di Indonesia. 

Faktor ketiga

Banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh para penyanyi dangdut, membuat masyarakat tidak simpatik dengan pemberitaan yang menghadirkan beragam konflik rumah tangga atau konflik kepentingan, dan adanya pelanggaran hukum yang sedang melingkupi diri sejumlah penyanyi dangdut.

Pada saat ini, Kristina sedang menjalani pengadilan cerai dengan suaminya, Al Amin Nasution. Dewi Persik dengan segenap pemberitaan penuh sensasinya, sedang menghadapi tuntutan hukum dari asisten pribadinya. 

Masyarakat Indonesia sekarang jauh lebih kritis dibandingkan beberapa tahun yang lalu, dimana masyarakat menganggap, segenap konflik yang mereka hadirkan, hanyalah untuk mencari sensasi dan mendongkrak nama mereka semata. Padahal, para penyanyi dangdut itu sendiri, sedang tidak dalam masa-masa promo lagu baru.

Para pecinta musik dangdut ingin dihibur dengan lagu-lagu dangdut, bukan dengan berbagai pemberitaan yang tidak pantas untuk di expose ke tengah-tengah masyarakat.


Saat krisis ekonomi dunia berimbas pada kehidupan banyak anggota masyarakat di Indonesia dan semakin menekan keadaan kondisi keuangan anggota masyarakat kita (khususnya masyarakat dengan penghasilan menengah dan rendah), tidak salah kiranya kalau masyarakat membutuhkan hiburan murah-meriah yang bisa menyenangkan hati serta bisa menghibur mereka sejenak.  
 
Lambat-laun, animo masyarakat terhadap keberadaan musik dangdut, bisa saja semakin memudar (layaknya musik keroncong atau gambang kromo), sehingga "seakan-akan" musik dangdut telah menjadi bagian dari langgam sejarah musik yang pernah eksis di Indonesia.

Upaya pencekalan yang tidak diikuti dengan tindakan pembinaan (kalaupun ada, proses pembinaan tidak berjalan) terhadap para penyanyi dangdut (khususnya penyanyi dangdut perempuan), akan membawa dampak semakin tenggelamnya musik dangdut dalam ranah musik tanah air.
 
Bagaimana mau berkembang kalau tidak ada lagu-lagu baru yang akan dipasarkan dan dipromosikan? Bagaimana mau maju, kalau proses kreatif pencipta serta enyanyi dangdut, dan mampu meningkatkan jam terbang para penyanyi dangdut dalam kancah musik dangdut, yang berpengaruh pada penghasilan atau pemasukan keuangan mereka.

Pihak penguasa, dalam hal ini pemerintah dan institusi yang "merasa" memiliki kuasa, seharusnya menerapkan prinsip bijaksana serta sadar diri kalau tidak ingin melihat salah satu bagian dari langgam seni Indonesia, akhirnya semakin tenggelam di tengah perkembangan jaman.

Well, fenomena yang menganggap bahwa musik dangdut akan semakin tenggelam dalam kancah musik tanah air, seharusnya tidak perlu ada atau dihembuskan ke tengah-tengah masyarakat, sebab kondisi itu akan berlaku sementara apabila ada upaya untuk membangun serta membina musik dangdut, agar menjadi lebih bermartabat dan semakin diterima di seluruh tingkatan masyarakat, bahkan di seluruh dunia.

So, musik dangdut gak harus terhapus dalam khazanah musik Indonesia apabila ada apresiasi dan perhatian lebih dari pemerintah, para pelaku dan pecinta musik dangdut, serta dari seluruh anggota masyarakat kita. 

Dangdut bisa bagian dari karya seni unggulan bangsa kita asal kita bisa mengelolanya dengan baik dan bijaksana. 


Think fresh...



.Sarlen Julfree Manurung 

No comments:

Post a Comment