Monday, 24 May 2010

Tak Perlu Marah Kalau Dikoreksi / Dikritik Anak Buah

Wajah seorang senior manager terlihat berubah menjadi merah saat seorang calon karyawan yang sedang mengikuti kegiatan training, mengkoreksi isi dari salah satu paragraf dalam makalah training yang sedang dibawakan oleh sang manager.

Pada intinya, calon karyawan itu mengkoreksi isi paragraf yang terdiri dari beberapa kalimat pendek, dimana masing-masing kalimat, meskipun berada dalam konteks pembahasan yang sama, namun isinya menerangkan alur pemikiran yang berbeda. Oleh karena dituliskan dengan minim tanda baca, sehingga pemahaman terhadap kalimat-kalimat yang saling berkaitan tersebut, dapat disimpulkan secara berbeda oleh pembacanya.

Nampaknya, sang manager tidak senang dengan adanya "koreksi kecil" yang dilakukan oleh seorang calon karyawan tersebut atas makalah yang dibuatnya. Rasa tidak senang karena sedikit emosi (sebab merasa telah dipermalukan), dan bukan karena malu (sebab merasa telah melakukan kesalahan penulisan uraian kalimat-kalimat yang berkaitan).

Hal ini bisa terlihat dari tekanan kata-kata yang diucapkan oleh senior manager pada saat menanggapi koreksi dari seorang calon karyawan terhadap pemahaman paragraf yang terdapat dalam makalah training yang dibawakan sang senior manager.

"Kalau saudara pintar, tentunya saudara paham dan dapat menangkap arah dari uraian kata-kata yang saya sampaikan dalam paragraf tersebut," demikian tanggapan dari senior manager itu dengan suara tegas.

Komunikasi dua arah antara seorang atasan dengan karyawan yang dipimpimnya, sering kali mengalami hambatan hanya karena karyawan berani mengajukan koreksi atas pernyataan atau uraian informasi yang disampaikan oleh sang atasan, baik secara lisan atau secara tertulis.

Ada kecenderungan, seorang atasan membatasi diri untuk berkomunikasi dengan para karyawan yang dipimpinnya, karena tidak ingin integritas dirinya sebagai seorang atasan, terganggu oleh kedekatan diri dengan para karyawan (in personal).

Hal ini juga terjadi karena seorang atasan merasa bahwa dirinya adalah pihak yang mengangkat atau mempekerjakan seorang karyawan, sehingga seorang karyawan - suka tidak suka - sebaiknya tetap memposisikan diri sebagai individu pekerja yang tugasnya mengerjakan pekerjaan yang dinyatakan oleh atasan mereka.

Sikap menjaga jarak yang diterapkan oleh sejumlah besar atasan tersebut, merupakan sebuah keadaan yang terkadang harus dilakukan untuk menjaga agar harmonisasi hubungan dengan seluruh karyawan, dapat terjaga dengan baik.

Namun sering kali sikap tersebut mengemuka karena seorang atasan ingin menunjukkan kuatnya posisi dan "kuasa" yang dimilikinya, dengan membentuk lingkaran kekuasaan yang sebisa mungkin terjaga dengan baik, sehingga tidak ada peluang bagi para karyawan untuk menggeser posisinya.

Oleh sebab itu, apabila ada seorang karyawan yang mengkoreksi atau mengkritisi kepemimpinannya, seorang atasan cenderung bersikap protektif, dibandingkan sikap menerima adanya koreksi atau kritik yang dinyatakan kepadanya.

Padahal, apabila seorang atasan mau menjadi seorang pendengar yang baik, terutama atas koreksi dan kritik yang disampaikan oleh para karyawan yang dipimpinnya, sesungguhnya atasan tersebut telah mendapat suatu pola pembelajaran baik, seperti : mengetahui tingkat kemampuan karyawan, menjalin keakraban, dan lain sebagainya.

Esensi dari sebuah pernyataan yang bersifat koreksi atau mengkritisi adalah sama, yaitu memperbaiki hal-hal yang masih dirasakan kurang tepat / tidak benar.

Jadi, apabila seorang atasan dikoreksi atau dikritik oleh para karyawan yang dipimpinnya, itu bukan berarti mereka ingin melakukan kudeta atau unjuk kebolehan kepada atasannya, namun ingin memberi telaah benar dan lebih tepat atas sesuatu hal yang dirasakan sudah benar oleh sang atasan.

Ini sama artinya, para karyawan sangat menghargai posisi atasannya dengan menyampaikan atau melakukan yang benar, bukan sebuah kesalahan.

Terimalah adanya koreksi atau kritik sebagai sebuah keinginan para karyawan untuk membangun, bukan untuk menjatuhkan. Membiarkan sesuatu hal yang salah, juga bukan sebuah tindakan benar.

Namun perlu juga diingat, bagaimana aturan dan cara menyampaikan koreksi atau kritik kepada atasan. Lakukan dengan sopan dan gaya bahasa yang tidak memojokkan. Sampaikan dengan argumentasi, agar atasan yang dikoreksi atau dikritik tahu dan menyadari, adanya kesalahan yang telah dilakukannya.

Jadi, tidak perlu marah kalau ada karyawan yang mengkoreksi atau mengkritik (apalagi kalau koreksi atau kritik yang disampaikan oleh karyawan, adalah sesuatu hal yang benar), sebab itu sama artinya, mereka juga ingin atasannya memiliki pengetahuan atau cara pandang yang tepat dan benar. Mereka memang karyawan, tapi mereka juga punya otak untuk melihat serta menyampaikan kebenaran.




.Sarlen Julfree Manurung

No comments:

Post a Comment