"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”
(Matius 7 : 1 – 3)
Kata menghakimi diambil dari bahasa Yunani, Krino, yang umumnya diartikan sebagai membuat memutuskan, menilai atau menyimpulkan sendiri tentang sesuatu hal.
Dan mengapakah engkau juga tidak memutuskan sendiri apa yang benar?
(Lukas 12 : 57)
Menghakimi orang lain merupakan sebuah keadaan situasional yang mengemuka ketika seseorang atau sekumpulan orang mengeluarkan suatu pernyataan yang berkaitan dengan orang lain, yang beranggapan atau menilai kalau orang lain tersebut, benar-benar telah melakukan kesalahan, meskipun anggapan atau penilaian itu, masih belum memiliki nilai kepastian akan kebenarannya.
Adanya anggapan atau penilaian kalau orang lain telah berbuat salah, dihadirkan sebagai sebuah upaya untuk menyudutkan orang lain, dengan menghadirkan pemikiran imajinatif yang menempatkan orang lain pada posisi bersalah.
Tindakan menghakimi orang lain memang berkonotasi negatif, karena banyak orang yang mengekspresikan perbuatan menghakimi sebagai sebuah tindakan untuk “menghukum” atau langsung memvonis orang lain.
Dalam banyak kesempatan, tindakan menghakimi orang lain diawali dengan keluarnya suatu pernyataan yang membesar-besarkan kesalahan maupun sikap tidak menyenangkan yang telah diperbuat orang lain ketika ada masalah.
Apabila dicermati lebih jauh, disikapi dengan kepala dingin, atau ditanggapi dengan tidak emosional (meredam adanya pemikiran untuk membuat orang lain sakit hati), pernyataan membesar-besarkan kesalahan orang lain atau membesar-besarkan adanya perilaku yang tidak menyenangkan dari orang lain itu, tidak harus dengan cara membangun opini publik yang membangun citra buruk atas diri seseorang karena perbuatan atau perilakunya.
Kenapa begitu?
Padahal, apabila dikaitkan dengan isi Firman Tuhan yang terdapat dalam Lukas 12 : 57 diatas, seharusnya makna perbuatan menghakimi orang lain tersebut berkonotasi positif, yaitu mendapatkan nilai kebenaran atau mendapatkan nilai kebaikkan.
Kekejian perkataan yang terungkap melalui kata-kata yang mengecam untuk membuat orang lain dalam posisi bersalah, bukanlah hakekat menghakimi dari prinsip pengajaran iman Kristen.
Entah kenapa, orang-orang beriman sangat suka sekali memanfaatkan momentum untuk mengingatkan (menghakimi) orang lain, dengan menghadirkan kata-kata kecaman yang diucapkan dengan menggunakan tata dan gaya bahasa yang menyakitkan.
Mengeluarkan kata-kata yang penuh dengan kecaman pada saat menghakimi orang lain, menimbulkan kesan kalau kita adalah pribadi yang kasar, emosional, atau suka menekan orang lain untuk mengaku salah atau berada pada posisi bersalah.
Hanya Roh Kudus Pribadi yang berhak untuk menunjukkan adanya kesalahan seseorang tanpa menyakiti dan melukai.
Tekanan psikologis yang dinyatakan melalui kata-kata kecaman atau umpatan yang kita ucapkan untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dari orang lain, tidak mendorong orang lain untuk menyadari kesalahannya.
Sedangkan pada sisi lain, sikap kita itu tidak akan membuat kita bersekutu dengan Tuhan pada saat pikiran kita tertuju pada upaya menekan orang lain dengan kata-kata kecaman.
Firman Tuhan dalam kitab Yohanes 7 : 24 menyatakan :
"Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil."
Ayat Firman Tuhan dalam kitab Yohanes 7 : 24 tersebut menyatakan, kalau orang-orang Kristen dapat menghakimi orang lain, namun tindakan menghakimi tersebut, diarahkan bukan untuk menyatakan suatu tuduhan atau suatu sangkaan yang dirupakan untuk bisa menyudutkan atau mendiskreditkan orang lain, akan tetapi bertujuan untuk mengingatkan orang lain agar dapat memperbaiki kesalahan atau perilaku yang tidak baik.
Hakekat yang dicari dalam makna kata menghakimi disini adalah menempatkan keadilan.
Dalam hal ini, apabila orang Kristen menghakimi orang lain, maka ia harus bersikap adil atau menempatkan keadilan dalam menghakimi orang lain, bukan untuk menempatkan orang lain sebagai pribadi yang tidak layak untuk menerima pengampunan atau mendapat kesempatan untuk memperbaiki perilakunya.
Namun akan lebih baik lagi, apabila orang Kristen tidak menghakimi orang lain, karena sering kali manusia keliru dalam memahami dan menempatkan kata menghakimi, tidak seperti makna yang dikandung dalam Firman Tuhan, akan tetapi berdasarkan pemikiran logika manusia, yaitu menghadirkan penghukuman kepada orang lain.
Sedapat mungkin setiap orang percaya sebaiknya tidak menghakimi orang lain, karena untuk setiap perbuatan menghakimi orang lain yang dilakukannya, Tuhan sendiri akan memakai pola dan takaran yang sama pada saat IA menghakimi dan menegur kita.
Oleh sebab itu, kata menghakimi tidak selalu berkonotasi buruk. Semuanya itu sangatlah tergantung pada bagaimana cara kita dalam memahami, menafsirkan atau menempatkan kata menghakimi pada proporsi dan tempatnya, sebab Tuhan meminta kita untuk tidak menghakimi apabila kita tidak bisa bertindak adil.
Dalam hal ini, anak-anak Tuhan tidak dapat mempergunakan pola pemahaman atau cara pandang yang sama terhadap kata menghakimi, ketika kata menghakimi dilekatkan pada hak tunggal Allah, yaitu menghakimi semua orang atas setiap tindakan maupun perilaku yang ditunjukkannya, selama nafas kehidupan ada pada manusia.
Anak-anak Tuhan harus mengingat, kalau Tuhan juga berkehendak kepada anak-anakNya untuk tidak mencari-cari kesalahan orang lain atau bisanya melihat kesalahan orang lain, terutama apabila kehidupan anak-anak Tuhan sendiri masih belum benar dan masih dapat ditemukan kesalahan atau berselebung dosa.
Setiap anak-anak Tuhan harus menyadari, kalau dirinya belum tentu menjalani pola hidup benar seutuhnya, sehingga orang lain dapat pula menemukan kesalahan atau keburukkan perilaku didalam kehidupan mereka.
Jadi, ada batasan-batasan dalam bersikap yang harus dipahami dan dimengerti oleh setiap anak-anak Tuhan, mengingat tindakan menghakimi juga dapat diberlakukan orang lain pula atas hidup mereka. Namun yang terpenting dari itu semua, biarkanlah Tuhan yang empunya kuasa bertindak sebagai Hakim terhadap perbuatan dan perilaku kita, selama menjalani kehidupan.
"Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah."
(I Korintus 4 : 15)
Menghakimi yang hanya didasarkan oleh dugaan semata, janganlah dipakai sebagai satu bentuk tindakan yang diberlakukan dalam hidup kita, karena sesuatu yang berawal dari dugaan, masih membutuhkan penelaahan lebih jauh, agar pada satu waktu nanti, akan ada tindakan saling menghakimi.
"Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi!"
(Roma 14 : 13)
Kiranya Tuhan membantu serta mengingatkan kita, untuk dapat bersikap adil pada saat menghakimi orang lain, agar kelak pada waktunya nanti, Tuhan akan berkata kepada kita : "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia."
Tuhan Yesus yang teramat baik, memberkati kita semua.
.Sarlen Julfree Manurung
No comments:
Post a Comment