Salah satu topik yang paling sering diangkat sebagai berita utama pemberitaan media massa (baik media cetak maupun media elektronik) nasional beberapa waktu belakangan ini, adalah mengenai sikap pejabat dan sebagian wakil rakyat kita di DPR yang senang sekali melakukan kebohongan publik.
Catat, tidak sekedar menyampaikan kebohongan yang diucapkan dengan wajah tersenyum di hadapan media massa, akan tetapi sekarang, mereka sudah tenang-tenang saja berbohong meskipun sedang berada dibawah sumpah, baik sumpah jabatan, maupun sumpah yang di lafalkan sebelum menyampaikan kesaksian di pengadilan. Sungguh amat ironis memang.
Banyak orang mengatakan, kalau seseorang ingin berkarir sebagai seorang politisi ataupun pejabat negara, maka orang itu harus berani berkata bohong.
Itu sama artinya, kepada para calon PNS dan calon wakil rakyat, mulailah membiasakan diri untuk sesekali berbohong serta mendengarkan kata-kata penuh kebohongan, supaya tidak jengah lagi untuk melakukannya saat sudah diangkat menjadi PNS atau anggota dewan.
Kenapa berani berkata bohong menjadi “syarat tak tertulis” untuk menjadi PNS atau sebagai anggota dewan?
Alasannya sederhana saja. Sebagai penentu kebijakan publik (minimal, mempunyai peranan atas adanya suatu kebijakan publik), white lies dapat dilakukan apabila tindakan itu bertujuan untuk menjaga stabilitas politik, keamanan dan perekonomian, agar tetap berjalan baik.
Dalam hal ini, kebohongan publik dinyatakan untuk menciptakan suasana kondusif. Pada keadaan atau situasi tertentu, terkadang masyarakat tidak perlu diberitahu tentang kondisi real gar tidak terjadi kepanikkan yang berdampak pada terganggunya stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi.
Namun itu bukanlah berarti, sebuah keputusan yang diambil untuk mencegah munculnya ketegangan sosial ditengah-tengah masyarakat, dijadikan alasan untuk melegalkan berkata bohong kepada masyarakat. Cukup tidak diucapkan, bukan dibohongi.
Menyampaikan kebohongan publik sering dilakukan pejabat pemerintah atau wakil rakyat karena mereka tidak ingin kehilangan integritas mereka di mata rakyat.
Namun tidak sedikit pula yang melakukan kebohongan publik karena para penguasa ingin mengamankan kursi kekuasaannya, atau dalam rangka mencari dukungan masyarakat untuk menjalankan suatu niatan dan rencana aksi besar mereka.
"No Matter How Big The Lie is, People Will Believe It If You Repeat It Enough” merupakan salah satu model kebohongan publik yang di kemas Nazi Jerman sebagai alat propaganda, untuk membangun kebencian masyarakat Jerman atas kaum Yahudi.
Ditengarai pula kalau Presiden Amerika Serikat, George Bush Jr, mengawali aksi invasi ke Irak, setelah terlebih dahulu menghadirkan kebohongan publik untuk membenarkan langkah yang diambilnya dalam menjatuhkan Presiden Saddam Husein. Invasi pasukan Amerika ke Irak dilakukan dengan alasan negara tersebut telah memproduksi / memiliki senjata nuklir.
Sedangkan di Indonesia, menyampaikan kebohongan publik merupakan kebiasaan baru di kalangan pejabat atau wakil rakyat kita.
Namun, aksi kebohongan publik yang dilakukan oleh sejumlah pejabat maupun wakil rakyat di negara kita ini, tidak dilafalkan dalam rangka menjaga keutuhan stabilitas nasional, akan tetapi dalam rangka “pasang badan” (demi kepentingan yang lebih besar) atas suatu perkara yang sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan masyarakat.
Aksi “pasang badan” ditempatkan sebagai pilihan sikap untuk melindungi kelanggengan arus kepentingan tertentu yang selama ini sudah dimainkan atau diketahuinya.
Oleh karena itulah, mereka terlihat canggung saat harus menentukan sikap dengan menggunakan hati nurani dan dilandasi oleh nilai-nilai kejujuran.
Pertanyaan sekarang, apakah kebohongan publik memang merupakan sebuah tindakan bijak, sehingga dianggap sah-sah saja untuk dilakukan demi lahirnya suatu kebijakan publik (public policy) yang dapat mengayomi seluruh anggota masyarakat yang dipimpinnya?
Fakta yang ada, tidak berkata demikian... Suasana kondusif mungkin tetap terjaga. Namun kebohongan publik yang dilakukan pejabat atau wakil rakyat, mendorong kehancuran moral dan sendi-sendi kehidupan anak-anak bangsa yang dipimpin atau diwakilinya di DPR.
Hidup masyarakat akan semakin susah dan berat untuk dijalani, karena pemimpin yang suka menyampaikan kebohongan publik, adalah pemimpin yang tidak sepenuh hati memegang dan memperhatikan amanat penderitaan rakyat. Mereka termasuk golongan pemimpin yang tidak berpihak kepada rakyat.
Apabila seorang pemimpin melakukan kebohongan publik, itu sama artinya, pemimpin itu bukanlah seorang pemimpin yang ksatria, tidak berani melihat realitas, karena memilih untuk menutup-nutupi kesalahan dibandingkan mempertanggung-jawabkannya.
Kebohongan tetaplah kebohongan. Pesan yang ingin ditaruhkan hanyalah sebuah upaya untuk mencari pembenaran, bukan meletakkan kebenaran sebagai dasar dalam membuat kebijakan.
Tidak ada satu pun model pendekatan pemikiran positif yang dapat dikembangkan atasnya. Dalam hal ini, segala bentuk perbuatan yang dilandasi oleh pola pemikiran yang salah, tidak akan membawa banyak manfaat (berdaya guna besar), terutama bagi masyarakat luas.
Jika dikatakan 1 + 1 = 2, maka ada 2 pihak yang dibohongi : orang lain, dan dirinya sendiri. It means, berbohong itu tidak hanya menyusahkan orang lain, tapi juga merugikan diri sendiri.
Sekali kita berbohong, maka satu saat nanti, kita akan kembali berkata berbohong (membuat kebohongan yang lain) untuk menutupi kebohongan yang telah kita nyatakan sebelumnya. Artinya, kebohongan itu bisa berlanjut, apabila kita sendiri tidak berhenti berbohong. Tentu amat menakutkan kalau hal itu dilakukan oleh para pemimpin dan wakil rakyat kita.
Pemimpin seharusnya bisa menjadi tokoh panutan, contoh dan suri tauladan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keberadaannya di barisan terdepan, adalah sebuah kehormatan, karena tidak semua orang bisa jadi pemimpin. Jadi bersikaplah seperti seorang pemimpin.
Bagaimana bisa menjadi panutan atau teladan yang baik apabila kebohongan publik masih ditempatkan sebagai aral dalam kehidupannya sebagai seorang pemimpin?
Figur pemimpin yang baik akan berlaku elegan saat harus menentukan sikap. Namun berlaku elegan tidak harus diwujudkan dengan mengumbar kebohongan publik, akan tetapi memilih bersikap jujur karena berani berlaku jujur merupakan nilai lebih yang menunjukkan kualitas kepemimpinan seseorang.
Memang dibutuhkan keberanian untuk berlaku jujur, terutama saat langkah-langkah dalam mengambil keputusan, harus menghadapi benturan kepentingan dengan sejumlah pihak atau kelompok tertentu.
Adanya benturan kepentingan, sering kali menyudutkan posisi seorang pemimpin. Kuatnya desakan dari pihak-pihak tertentu, membuat kebijakan yang dikeluarkan seorang pemimpin, tidak lagi bersikap obyektif, dan tidak konsisten berdiri diatas semua kepentingan.
Kondisi ini terkadang mendorong seorang pemimpin mengeluarkan kebijakan non-populis, yaitu sebuah kebijakan yang tidak bersifat win-win solution, karena tujuan dari pembuatan kebijakan tersebut, sesungguhnya hanya untuk melindungi adanya kepentingan tertentu yang ingin diakomodasikan.
Terkadang pula, sebelum membuat atau menetapkan kebijakan, seorang pemimpin sengaja mendramatisir keadaan yang ada dengan menyampaikan kebohongan publik, agar memiliki alasan untuk membuat kebijakan non-populis. Dalam hal ini, kebohongan publik dinyatakan dengan memutar-balikkan fakta atau dengan tidak mengungkapkan keadaan yang sebenarnya.
Pemimpin yang menyampaikan kebohongan publik, adalah pemimpin yang secara sengaja mendegradasikan konsep pemikiran benar yang seharusnya dipergunakan sebagai landasan pemikiran dalam membuat kebijakan atau mengarahkan opini publik.
Seorang pemimpin yang baik tidak akan menginspirasi masyarakat yang dipimpinnya dengan menghadirkan friksi lewat kebohongan publik, karena dirinya tahu dan menyadari, kalau pilihan sikap seperti itu, hanya akan mencoreng wibawanya di mata masyarakat.
Dalam hal ini, pilihan sikap yang diambil dalam membuat keputusan atau kebijakan oleh seorang pemimpin yang baik, akan selalu dilandasi oleh kebenaran dan kejujuran.
Mengembangkan pola komunikasi publik dengan menghadirkan kebohongan, bukanlah suatu pola pendekatan yang mengilhami masyarakat untuk hidup tertib, akan tetapi menimbulkan kegamangan dan sikap pesimistik, karena melihat pemimpinnya memiliki mindset yang salah dalam menjalankan roda kepemimpinannya.
Pada akhirnya, kebenaran mungkin dapat ditutup-tutupi oleh aneka kebohongan. Akan tetapi, kebohongan tidak akan pernah bisa dipertahankan dalam rentang waktu lama. Suatu saat nanti, kebenaran tidak akan bisa ditutup-tutupi lagi.
- Sarlen Julfree Manurung -
No comments:
Post a Comment