Mungkin, karena sudah cukup lama belum juga memiliki pekerjaan tetap atau mempunyai penghasilan tetap, saya sempat menjadi seseorang yang emosional karena suka kesal terhadap sikap orang-orang yang nampaknya sudah terbiasa mengeluarkan kata-kata cemooh ataupun hinaan, bagaikan orang-orang yang selalu punya hasrat untuk merendahkan dan menjatuhkan harkat, martabat, serta harga diri orang lain.
Namun, setelah melalui sebuah perenungan panjang, saya berpikir, untuk apa saya menjadi seseorang yang emosional? Apakah saya bisa merubah keadaan dengan marah-marah? Kesal karena kecewa sih, boleh-boleh aja, tapi kalo marah, sebaiknya jangan. Yup, sama sekali ga ada untungnya.
Setiap hari saya tidak pernah ongkang-ongkang kaki, seharian kerjanya duduk-duduk atau tidur-tidur saja di rumah. Walaupun saya tidak berkantor di salah satu gedung perkantoran yang ada di daerah Sudirman-Thamrin, namun saya tetap ada kegiatan dengan bekerja dari rumah.
Bagi orang kantoran, hasilnya mungkin tidak seberapa. Lebih sering tidak berlimpah atau sama seperti saat saya bekerja sebagai staff perencanaan di sebuah kantor general contractor. Tapi kalo di total-total, nilainya bisa melebihi UMR di Jakarta.
Setidaknya, saya tidak melakukan mark-up atas nilai project demi menjaga nama dan reputasi saya as a freelance. Saya masih bisa beli rokok saya sendiri, bisa sesekali membantu orang tua untuk nambahin uang belanja, serta bisa sesekali jajanin keponakan-keponakan saya.
Hingga hari ini, saya tidak merasa salah memilih kuliah di fakultas teknik jurusan arsitektur, karena ternyata, dunia para arsitek itu tidak hanya berisi mengkhayal...mengkhayal...dan mengkhayal. Akan tetapi kami juga belajar tentang banyak hakekat ilmu yang tidak diajari di jurusan lainnya.
Tentu saja, hidup yang berubah drastis, ada hikmahnya. Salah satunya, saya harus terbiasa dengan penghasilan yang apa adanya jika memang sedang tidak menangani proyek (no job).
Adanya perubahan atas kualitas kemampuan keuangan, memang sedikit merubah sikap saya. Dahulu, saya terbiasa menjadi pendengar paling setia kalau ada teman-teman yang ingin curhat sama saya. Kalau sekarang ini, saya memilih untuk terbiasa bertindak sebagai motivator bagi orang-orang yang tidak saya kenal dengan baik. Kenapa begitu?
Perubahan itu terjadi sewaktu saya sedang mengalami masalah keuangan beberapa waktu yang lalu. Waktu itu saya mendatangi mereka, berharap bisa dibantu dengan menceritakan masalah yang sedang saya hadapi.
Apa lacur adanya, ternyata saya hanya mendapatkan punggung dari mereka saja. Menegur sapa tidak, memberikan respon juga tidak. Bahkan sekarang hilang dan pergi begitu saja. Yup, saya menjadi korban kerasnya kehidupan pergaulan, mau menerima, tapi enggan memberi.
Oleh sebab itulah, saya merasa, percuma saja selama ini telah menjadi pendengar setia bagi “suara jeritan hati” mereka, karena ternyata mereka sendiri emoh untuk juga mau menjadi pendengar suara hati saya.
I don’t know why, belakangan ini, sikap saya itu sudah menjadi kebiasaan. Kuantitas dari munculnya keinginan untuk menjadi pendengar bagi suara orang-orang yang merasa punya beban, agak saya kurangi. Mungkin, saya salah telah bersikap seperti itu. Akan tetapi, saya juga ingin mempunyai rasa nyaman dalam kehidupan pergaulan saya.
Faktanya, bekerja dari rumah bukan berarti saya tidak memiliki masalah dan banyak kendala. Aneka problematika kehidupan pribadi, tetap datang silih berganti. Bekerja di rumah juga berarti, saya harus membiasakan diri dengan keruwetan masalah yang ada di rumah.
Kondisi terberat adalah saat orang tua saya harus mudik sebulan lamanya untuk nostalgia, dan saat setelah Lebaran ini, karena pembantu serta baby sitter para keponakan saya, tidak balik lagi.
Sungguh, kerepotan demi kerepotan menyita waktu saya. Apalagi sewaktu ponakan saya Pepita sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit. Semenjak jam 6 pagi saya sudah sibuk membantu Ibu saya mengurusi adiknya Pepita, Abby, karena orang tuanya menemani Pepita di Rumah Sakit. Praktis, saya baru tidur jam 3 subuh setiap harinya karena Abby sering kali rewel banget karena kangen sama Orang tua dan Kakaknya.
Berbagai bentuk kerepotan membuat saya mengalami kesulitan untuk bisa mengatur waktu menjalani kehidupan sosialita saya. Gak ada waktu untuk mengais rupiah karena badan ini sudah capek sekali.
Untuk menghibur diri, saya menonton OVJ dan bermain game Social City di facebook. Just that.
Ada begitu banyak permintaan untuk menjadi pengabdi nan setia. Bahkan terkadang, harus dimulai dengan penyampaian kata-kata yang benar-benar “tidak menganggap” keberadaan saya yang juga memiliki aktifitas pribadi. Sering kali, saya merasa sakit hati, tapi saya hanya bisa ngedumel dalam hati.
Untung saja, saya bukanlah tipikal orang yang temperamental, yang suka melampiaskan rasa amarah serta rasa kesal dengan menyakiti ragawi orang lain. Puji Tuhan... hingga kini, saya masih dapat mengendalikan diri. Saya berharap, sampai kapan pun, saya tidak berubah menjadi orang yang mampu menahan emosi diri.
Tentu saja, menjadi seseorang yang emosional, bukanlah sebentuk perubahan perilaku yang saya inginkan agar menjadi bagian dari kepribadian saya. Sekali-kali tersinggung, pernahlah. Saya masih manusia biasa yang punya perasaan. But, being emotional people?
Nop. that is not my type. Till now, i’m not like that. Saya sangat-sangat tidak menginginkan menjadi seorang pemarah. Saya tidak ingin, marah-marah menjadi kebiasaan hidup, menjadi cara saya untuk mengekspresikan rasa tidak senang saya.
Beraneka ragam tekanan, boleh-boleh saja didatangkan. Aneka rupa cemooh dan kata-kata hinaan yang menyakitkan hati, boleh-boleh saja sering dialamatkan. Aneka bentuk tindakan tidak menyenangkan lagi merendahkan, silahkan saja untuk dirupakan sekehendak hati. Tapi saya tidak mau terpengaruh oleh karenanya.
Hidup ini terasa menakutkan jika saya menikmati tekanan-tekanan yang menghampiri. Akan ada berjuta-juta kebencian yang bergemuruh dan ingin dilampiaskan. Tentu saja, itu bukan sebuah kondisi yang baik untuk dijalani.
Dalam tayangan acara Just Alvin, Sophia Latjuba sempat mengatakan : happy is a strong word. Saya sependapat dengannya. Pada satu sisi, saya sudah sangat terbiasa untuk menghadapi banyak kesusahan. But, saya juga ingin menikmati hidup ini, bukan menikmati segenap kesusahan yang datang menghampiri.
Saya mungkin sudah terbiasa menghadapi keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan. Akan tetapi, saya tidak ingin untuk terbiasa menjadi orang yang memiliki kebiasaan melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan. Itu sebabnya, belakangan ini, saya lebih banyak diam dari pada muncul keinginan untuk balik menyakiti hati dan perasaan orang lain.
Jika saya menginginkan gaya berpikir saya ini bisa pula menjadi bagian dari gaya berpikir dari orang-orang di sekitar saya, itu karena saya meyakini, pilihan sikap seperti itu, perlu ada di dalam benak pikiran dan jalan kehidupan semua orang. Hidup kita haruslah berkelimpahan dengan perbuatan baik, bukan keinginan untuk menyakiti.
Terbiasa melakukan beragam perbuatan baik, akan membuat hidup kita menjadi luar biasa. Cukup banyak rupa perbuatan baik yang bisa kita jadikan kebiasaan dalam gaya hidup kita. Show that to the peoples kalo kita biasa berbuat baik.
Percaya deh, walaupun hidup kita tidak dipenuhi oleh beragam kesenangan duniawi atau berkelimpahan harta, namun hati serta pikiran kita, akan dipenuhi oleh rasa sukacita, jika kita punya kebiasaan-kebiasaan baik, biasa berbuat baik, serta sudah terbiasa untuk setiap saat berbuat baik.
.Sarlen Julfree Manurung
No comments:
Post a Comment