Saturday, 11 June 2011

Kalau Merasa Tidak Bersalah, Kenapa Harus "Berobat" ke Luar Negeri?

Sepanjang hari, saya kehilangan ide untuk menulis. Benar-benar gak tahu mau nulis tentang apa. Kayaknya, sudah hampir semua hal pernah saya jadikan bahan tulisan.


Merasa mengalami blank spot untuk menghasilkan sebuah artikel, saya memilih untuk membaca-baca tulisan yang di sejumlah media online. Ternyata, hampir semua media online membahas tentang kegagalan KPK menghadirkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, untuk menyampaikan kesaksian sebagai terperiksa (bukan sebagai saksi atau tersangka - karena masih dalam tahap penyelidikan kasus) kemarin (10/06/11).


Pemanggilan M. Nazaruddin sendiri, bukan untuk menyampaikan kesaksian terkait kasus suap yang telah menempatkan Sesmenpora sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi, namun terkait kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Kemendiknas tahun 2007, dalam pengadaan barang di Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), untuk kebutuhan Revitalisasi Saranan dan Prasarana Pendidikan.


Saat ditanya wartawan Teve One soal sikap M. Nazaruddin tersebut, Denny Kailimang, anggota DPP Partai Demokrat yang memimpin Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum, mengatakan, M. Nazaruddin berhak untuk tidak memenuhi panggilan KPK tersebut, karena surat pemanggilan KPK itu tidak diterimanya secara langsung. Menurut Denny, keputusan yang dibuat M. Nazaruddin untuk tidak hadir memenuhi panggilan KPK kemarin (10/06/11), dibenarkan Undang-Undang.


KPK sendiri mengakui, surat pemanggilan kepada M. Nazaruddin dikirimkan ke Sekretariat Fraksi Partai Demokrat di DPR, karena saat dikirimkan ke rumah M. Nazaruddin, tidak ada orang yang menerimanya.  


Tentu saja surat pemanggilan KPK itu tidak diterima oleh M. Nazaruddin, karena berdasarkan informasi yang disampaikan pihak Dirjen Imigrasi, hingga tadi siang, M. Nazaruddin beserta isterinya, belum kembali ke tanah air.


Banyak pihak yang sudah menduga, M. Nazaruddin tidak akan memunculkan "batang hidungnya" di KPK. Nampaknya, ada keyakinan dalam diri M. Nazaruddin kalau dirinya akan dijadikan tersangka. 


DPP Partai Demokrat sendiri sudah mengirim 3 orang pejabat teras DPP Partai Demokrat (Soetan Bhatugana, Benny K. Harman, dan Saan Mustofa) ke Singapura, untuk berbicara dan meminta M. Nazaruddin agar pulang ke tanah air. Saat bertemu ketiganya, M. Nazaruddin berjanji akan segera kembali untuk menyelesaikan kasus hukum yang sedang dihadapinya.  


Pada saat melakukan pers conference terkait hasil pembicaraan antara ketiga pejabat teras DPP Partai Demokrat dengan M. Nazaruddin di suatu tempat di Singapura, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum mengatakan, keberadaan M. Nazaruddin di Singapura adalah untuk berobat. Anas mengaku, tim DPP Partai Demokrat yang dikirim ke Singapura, tidak berhasil meminta M. Nazaruddin untuk kembali ke Indonesia.


Anas Urbaningrum juga tidak menyebutkan kapan M. Nazaruddin akan kembali. Sayangnya, saat pers conference itu tidak disebutkan, apakah tim DPP Partai Demokrat yang telah bertemu dengan M. Nazaruddin di Singapura, meminta M. Nazaruddin untuk berobat di dalam negeri saja. Selain sudah banyak rumah sakit bertaraf internasional, ada banyak dokter-dokter berpengalaman di negeri kita yang bisa membantu menyembuhkannya.


Jika memang tidak kembali dalam waktu dekat, sikap yang diambil M. Nazaruddin tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak "pembangkangan" atas perintah yang telah dikeluarkan oleh SBY selaku Ketua Pembina Partai Demokrat, agar dirinya kembali untuk menjalani proses hukum yang harus dihadapinya.


Seharusnya SBY mengambil langkah lebih tegas lagi. Kredibilitas SBY sebagai Presiden amat dipertaruhkan, mengingat SBY sendiri mengatakan, dirinya adalah orang yang berdiri paling depan untuk memerangi korupsi di Indonesia.


Meskipun baru dinyatakan sebagai sebuah sangkaan, namun penyebutan nama M. Nazaruddin dalam sejumlah kasus tindak pidana korupsi, merupakan sebuah tanda, M. Nazaruddin tidak menjaga citra pembinanya, yang juga adalah pendiri partai tempat dirinya membangun karir politik.


M. Nazaruddin sendiri pernah menulis dalam testimoni di blog pribadinya (yang telah dihapus) dan dalam pers release yang pernah dikirimkannya ke suatu media, kalau kasus yang sedang dihadapinya saat ini, merupakan hasil rekayasa, dan dianggap sebagai sebuah isapan jempol belaka. 


Kalau memang merupakan sebuah isapan jempol belaka, seharusnya M. Nazaruddin tidak perlu "takut" atau ragu untuk segera pulang ke Indonesia, sehingga bisa mengklarifikasi kalau sangkaan tentang keterlibatannya dalam kasus suap di Kantor Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, dan dalam sejumlah tindak pidana korupsi lainnya (yang disebutnya sebagai perbuatan konspirasi anggota partai lain, yang "sengaja" diarahkan untuk menjatuhkannya) adalah tidak benar.


Jika tidak, sangkaan keterlibatan dirinya dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi, adalah benar adanya.


Sikap ini sama seperti sikap Nunun Nurbaeti, yang telah dijadikan tersangka oleh KPK karena dinilai terlibat dalam  kasus suap terhadap anggota DPR saat pemilihan Deputi Senior BI.


Meskipun suaminya Pak Adang Dorodjatun (mantan Wakapolri dan sekarang anggota DPR RI dari F-PKS) dengan keras membela isterinya, namun kalau Nunun sendiri tidak berani tampil untuk menyampaikan kesaksian di bawah sumpah, maka sama artinya, "pelarian" Nunun untuk berobat tersebut, merupakan pertanda, sangkaan yang diarahkan kepadanya, benar adanya.


Anehhh... sakit ingatan berat, kok, bisa jalan-jalan ke Thailand sama Kamboja?


Hamparan jutaan kata-kata pembelaan atau kata-kata bantahan, hanyalah upaya mencari-cari pembenaran adanya tindakan menghindar dari sanksi hukum. Sebagai mantan Wakapolri, Pak Adang Dorodjatun seharusnya meminta isterinya pulang, bukan memaksa KPK menjadikan 2 orang yang sering diungkit-ungkitnya sebagai tersangka pula. Bagaimana KPK bisa mengambil keputusan, kalau Nunun sendiri tidak bicara? 


Demikian pula dengan M. Nazaruddin. Curhat lewat tulisan blog saja, tidak akan membuat KPK berhenti memintanya untuk bersaksi, atau membuat masyarakat menilainya telah berlaku layaknya koruptor-koruptor lain, yang pergi ke luar negeri dengan alasan sakit. 


Bagaimana pun, namanya ada disebutkan sebagai orang yang diduga mengetahui atau diduga terlibat kasus tindak pidana korupsi. 


Kalau memang merasa tidak melakukan tindak pidana korupsi, kenapa harus takut menyampaikan kesaksian? Apakah pura-pura sakit lalu berobat ke luar negeri, adanya sangkaan terlibat tindak pidana korupsi yang diarahkan pada mereka, bisa dihapuskan? Bukankah tudingan itu akan semakin menguat? 


Apabila hanya berkilah saja, tidak akan pernah ada kedamaian hidup dan kedamaian di hati. Selalu merasa gundah (kalau ABG sekarang bilang, lagi GALAU) : merasa takut, merasa dikejar-kejar, merasa dizolimi... Bukankah lebih baik kalau keadaan ini dihadapi saja dengan sikap KSATRIA?


Btw, ada satu hal menarik lainnya usai saya membaca tulisan-tulisan artikel tentang kasus yang disangkakan kepada M. Nazaruddin di berbagai media online :


Rupanya, KPK tidak hanya sedang menyidik dan menyelidiki kasus-kasus yang menyebutkan nama M. Nazaruddin sebagai pihak yang dianggap mengetahui atau terlibat langsung dalam kasus tindak pidana korupsi di sejumlah departemen. Isterinya M. Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni, ternyata juga diduga mengetahui atau terlibat dalam sejumlah kasus tindak pidana korupsi. Apakah karena itu, mereka berdua sama-sama "berobat" ke luar negeri?


Well.. mereka memang jodoh..  =)



.SJM

No comments:

Post a Comment