Tuesday, 31 May 2011

KEBOHONGAN PUBLIK

KEBOHONGAN PUBLIK, Saat Menyampaikan Kebenaran Sepertinya Tak Lagi Menarik



Beberapa waktu belakangan ini, media massa banyak mengangkat berita tentang kebohongan publik yang dilakukan oleh para anggota DPR, oknum pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat, atau artis, yang sedang menghadapi kasus hukum.

 

Selaku tokoh panutan masyarakat (public figure), tidak selayaknya mereka mempertontonkan satu contoh perbuatan tidak terpuji. Mereka tidak mengakui telah berbuat salah, dengan menghadirkan kesaksian atau keterangan bohong, yang dianggap bisa melepaskan mereka dari jerat hukum, atau setidaknya, mengurangi masa penahanan mereka.  

 

Nampaknya, mereka telah terbiasa menjadi “saksi dusta” atau "pendusta". Sepertinya, berbohong telah menjadi gaya hidup mereka. Lagak-lagaknya, mereka tidak memikirkan, kalau berbohong itu dosa.

 

Pada sisi yang lain, pilihan sikap mereka untuk berbohong kepada masyarakat, telah menghadirkan paradigma atau anggapan negatif ditengah-tengah masyarakat : kalau berbohong itu, dibolehkan atau sah-sah saja untuk dilakukan.

 

Masyarakat dibuat gamang dengan pilihan sikap mereka yang tidak terhormat itu, hingga akhirnya ikut-ikutan senang menyampaikan kesaksian, keterangan, atau cerita bohong dihadapan orang banyak, karena melihat orang-orang yang menjadi panutan atau orang-orang yang dihormatinya, tidak malu untuk berkata bohong di muka umum.

 

Adanya nilai-nilai moral yang menganjurkan setiap orang untuk senantiasa berkata jujur, dan suatu pola pemikiran baik yang meminta setiap orang untuk berpikiran jernih dengan memperhatikan konteks serta perspektif pemikiran benar saat memandang permasalahan, sepertinya tidak lagi menjadi pilihan utama dalam menentukan sikap.

 

Saat ini, ada banyak anggota masyarakat kita yang senang membuat “sensasi”, dengan mengumbar cerita atau keterangan bohong. Berbohong seakan-akan menjadi sesuatu hal yang “legal” untuk dinyatakan, meskipun mereka tahu dan menyadari, kalau berbohong adalah perbuatan salah serta tidak layak untuk dikembangkan.

 

Tapi entah mengapa, banyak orang yang tetap memilih untuk berbohong dibandingkan menyatakan kebenaran.

 

Ketika menyampaikan kebohongan publik, setiap orang pasti memiliki motif. Dalam sejumlah kasus, mempublikasikan kebohongan merupakan sebuah upaya untuk menunjukkan konsistensi seseorang dalam bersikap, yaitu dengan bersikukuh mempertahankan jawaban, keterangan, informasi, atau hal-hal lain, yang pernah dinyatakan kepada orang lain.

 

Sedangkan pada sisi yang lain, melansir kebohongan publik juga dilakukan untuk menjelek-jelekkan, memfitnah, atau mendiskreditkan orang lain, dengan menghembuskan cerita bohong kepada orang banyak, sehingga orang banyak itu terpengaruh (percaya karena terperdaya), dan ikut terprovokasi untuk ikut beropini negatif (upaya pembunuhan karakter orang lain).

 

Ada banyak contoh kasus yang bisa memberikan gambaran, bagaimana kebohongan publik merusak pola tatanan hidup baik yang selama ini ada. Kebohongan publik juga mengganggu (bahkan bisa menyengsarakan) kehidupan orang lain. Jadi, bisa disimpulkan, apapun dalihnya, sesuatu hal yang tidak dilandasi oleh kebenaran, pasti menimbulkan ekses negatif.

 

Pada dasarnya, seseorang yang melakukan kebohongan publik, bukanlah seorang ksatria. Mereka hanyalah pecundang, yang telah menginspirasi diri mereka sendiri untuk mencari pembenaran terhadap suatu tindakan salah yang pernah dilakukan, dengan menggunakan cara-cara yang tidak terhormat.

 

Apabila seseorang berani menyampaikan kebohongan publik, maka orang tersebut adalah seseorang yang tidak bertanggung jawab, seseorang yang sedang mencoba berlari dari tanggung jawab, seseorang yang kurang kerjaan, serta seseorang yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri.

 

Mereka mencari kesenangan dan kepuasan batin dengan melakukan yang salah. Berkata jujur tidak lagi menjadi panglimanya. Padahal bisa dibilang, selain membohongi orang lain, mereka juga telah membohongi dirinya sendiri.

 

Apabila 1 + 1 = 2, dengan menyampaikan cerita atau keterangan bohong kepada orang lain, kita telah melakukan 2 kesalahan : kepada diri sendiri, dan kepada orang lain. Dimanakah nilai lebihnya? Tidak ada. Oleh sebab itu, sebelum “membual”, bertanyalah kepada diri sendiri, apakah benar pilihan sikap seperti itu?

 

Apakah dengan menyampaikan kebohongan publik, maka masalah kita akan selesai? Apakah kita siap untuk menerima konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukan, karena telah menetapkan langkah yang tidak dipikirkan terlebih dahulu?

 

Tidak ada kebenaran dalam suatu pernyataan bohong. Jadi, untuk apa berbohong? Adakah gunanya apabila kita menyampaikan cerita, keterangan atau informasi yang berisi kebohongan semata? Kita mungkin akan merasa “merdeka” untuk sesaat waktu. Namun, bagaimana dengan waktu-waktu selanjutnya? Akankah tenang hati kita?

 

Ada hal-hal lain yang lebih layak untuk dipelajari. Berpikirlah terlebih dahulu. Bersikaplah bijaksana dengan mencari hikmat yang bisa membuat kita tidak mencari pembenaran akan sesuatu, namun melihat serta menemukan kebenaran di dalam sesuatu.

 

Ingatlah.. tidak ada penyesalan yang datang duluan. Jangan karena ada nila setitik, rusak semua susu sebelanga (it means : jangan merusak reputasi baik yang selama ini capek-capek dibangun, hanya karena sempat / pernah "iseng" membuat kebohongan publik).

 

Selamat menyampaikan kebenaran kepada publik.

 

Salam Sejahtera,

 

 

.Sarlen Julfree Manurung

 

 

 

NOTE :

Saya merasa tulisan saya ini belum teramat mendalam. Namun, saya meyakini, point-point yang ingin saya sampaikan, telah ada didalamnya. Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment