Tuesday, 31 May 2011

Ada Saatnya Kita Berbicara, Ada Saatnya Kita Diam

Ada saatnya kita berkata-kata, dan ada saatnya pula kita diam, nyaris tidak berkata apa-apa...

 

Saat kita berkata-kata, ada baiknya kita menyampaikan sesuatu yang bermanfaat, menebar sukacita, dan menghadirkan kebaikkan hidup, bagi orang-orang yang ada di sekitar kita. Segenap perkataan kita, selayaknya membawa berkat bagi orang lain.

 

Pada saat kita diam atau nyaris tidak berkata apa-apa, ada baiknya kita tidak “kentut” sembarangan, sebab tindakan kita itu bisa mengganggu ketenangan, membuat kehebohan, bahkan “menyesakkan” orang lain, karena telah menghirup aroma yang tidak sedap.

 

Buang kentut yang dimaksudkan disini, bukanlah kentut dalam artian harafiah (sesungguhnya). Akan tetapi melakukan suatu tindakan tidak menyenangkan yang bisa merugikan orang lain, baik secara langsung atau secara tidak langsung, untuk maksud dan tujuan apapun.

 

Jangan pernah kita berpikiran, merasa, atau membuat suatu anggapan, orang lain tidak tahu dengan tindakan tidak menyenangkan kita itu. Ketenangan diri kita, mungkin tidak mengundang rasa curiga orang lain. Sikap diam kita, mungkin tidak segera menarik perhatian orang lain untuk menyampaikan tudingan atau tuduhan.  

 

Namun itu bukan berarti kita dapat berbuat sesuatu yang bisa mengganggu orang lain, atau berlaku destruktif secara diam-diam. Jangan pernah kita sekali-kalipun berpikir, kalau semua orang itu bodoh dan tidak akan tahu dengan perbuatan yang kita lakukan.

 

Mungkin, ketika perbuatan itu kita lakukan, orang lain tidak mengtahuinya. Tapi itu bukanlah berarti, suatu saat nanti orang lain akan mengetahuinya. Untuk segala sesuatunya, memang ada waktunya. It means, hanya menunggu waktu saja.

 

Tupai memang pandai melompat. Namun itu bukan berarti, seekor tupai tidak pernah jatuh pada saat melompat. Sama seperti bangkai yang dibungkus rapat-rapat, suatu saat nanti, bau busuknya akan tercium juga.

 

Imajinasi alam pemikiran kita, jangan sekali-kali diarahkan untuk menghadirkan amarah, tangis, atau kebencian orang lain. Berpikirlah dahulu sebelum melakukan perbuatan tidak menyenangkan pada orang lain, atau sebelum mulut ini berkata-kata kasar / penuh amarah. Kendalikanlah dirimu..!!!

 

Kemampuan kita untuk menyakiti orang lain, bukanlah perbuatan yang membanggakan, namun satu perbuatan yang akan membawa kita ke dalam jurang permasalahan. Dimana ada sebab, pasti akan ada akibatnya.

 

Setiap orang akan dituntut tanggung jawabnya untuk setiap perbuatan kasar atau perkataan tidak menyenangkan yang telah dirupakannya kepada orang lain, baik di Sorga, maupun di bumi. Ketika hal itu terjadi, setiap orang yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, akan dipandang “kerdil” karena dinilai tidak berpikir panjang saat tak mampu menjaga sikap dan perilakunya.  

 

Haruskah suatu tindakan cemar kita lakukan demi memuaskan ego atau menyenangkan diri? Tidak.

 

Ada banyak orang yang beranggapan, perbuatan tidak menyenangkan kepada orang lain itu mereka lakukan karena orang lain sudah terlebih dahulu melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada diri mereka.

 

Ingatlah, jangan sekali-kali mencari pembenaran untuk setiap perbuatan salah. Akan tetapi, bawa dan tempatkanlah nilai-nilai kebenaran di setiap tindakan atau perkataan yang kita ucapkan, karena setiap perbuatan salah, tidak akan pernah menjadi benar, sedangkan perbuatan benar, tidak akan pernah dikatakan sebagai sebuah kesalahan.

 

Pada dasarnya, memilih untuk diam (menahan diri) lebih membawa manfaat dari pada kita berusaha untuk membalas perbuatan tidak menyenangkan yang telah dilakukan orang lain kepada kita. Diam agar tidak timbul keributan, diam agar tidak ada tindakan saling menyakiti, tentunya.

 

Memilih untuk diam, bukan berarti kita mentolerir ada orang lain berlaku semena-mena kepada kita. Sikap diam kita, adalah untuk menjaga agar hati serta pikiran kita tidak pula dicemari oleh keinginan untuk membalas perbuatan tidak menyenangkan yang telah dilakukan orang lain kepada kita dengan perbuatan yang sama jahat atau sakitnya. Bukan demikian.

 

Sikap diam disini berarti pula kita menghadapi sikap, pernyataan atau tindakan kasar yang dilakukan orang lain dengan tenang. Sikap diam yang bukan berarti kita benar-benar tidak bersuara, pasrah dan menerima saja telah di zolimi orang lain. Tidak seperti itu.

 

Remember this, jangan pernah kita mencontoh perbuatan tidak baik yang telah dilakukan orang lain. Janganlah kita menjadi orang yang terbiasa berkata-kata kasar, terbiasa menyampaikan fitnah, dan terbiasa untuk berlaku semena-mena kepada orang lain. Janganlah kita serupa dengan dunia ini...

 

Bicara soal pembalasan, bukankah pembalasan itu merupakan hak Tuhan? Kita akan sama jahat dan buruknya dengan orang lain itu apabila kita tidak mampu menahan diri. Mungkin tidak mudah, tapi kita bisa melakukannya apabila kita menjaga pikiran kita untuk tetap dingin di saat hati kita “panas”.

 

Satu sikap yang bisa kita tunjukkan, adalah menegur orang yang telah bertindak kasar dengan penuh kasih. Katakan kepadanya kalau tindakannya itu bukanlah perbuatan yang layak untuk dilakukan, bukanlah tindakan orang terhormat, apalagi tindakan yang layak untuk dibanggakan atau dijadikan gaya hidup.

 

Ingatkan orang itu kalau perbuatannya merendahkan kita, tidak akan membawanya mendapatkan keuntungan apa-apa, namun akan membuatnya menyesali tindakannya itu, di kemudian hari.

 

Ada saatnya kita bicara, ada saatnya kita diam. Keduanya harus ditempatkan pada satu keinginan serta proporsi yang sama : di saat kita berbicara, kita menghadirkan berkat. Dan di saat kita memilih untuk diam, kita tidak sedang berpikir atau merencanakan sesuatu hal yang jahat kepada orang lain.

 

Jadilah orang yang senang membawa berkat bagi orang lain, dan bukan menghadirkan kepahitan hidup, terutama di saat kita berperkara dengan orang lain. Berpikirlah subyektif, jangan obyektif, baik di saat kita lancar berkata-kata, maupun di saat kita diam.

 

Tuhan memberkati.      

 

 

.Sarlen Julfree Manurung   


Menilai Orang Lain : Apakah Memang Seburuk Itu?

Janganlah kamu bersedih karena orang lain tidak menghargai dirimu, akan tapi bersedihlah apabila kamu tidak membuat hidupmu berharga bagi orang lain.

-       Mutiara Selaksa Pesona   -

 

Pada dasarnya gue nggak tahu, seberapa baik dan seberapa dalam pengetahuan / pengenalan orang lain tentang apa, siapa, dan bagaimana personality gue di mata mereka.

 

Kalo ada yang bilang gue itu baik... thank you banget. Tapi gue nggak tahu, sebaik apakah diri gue ini menurut pandangan orang yang memberikan penilaian baik atas diri gue. Dalam hal ini, gue juga nggak tahu, apakah penilaian baik yang mereka sampaikan itu, merupakan sesuatu hal yang obyektif atau hanya sekedar untuk menyenangkan hati gue doang.

 

Demikian pula kalo ada orang yang menilai gue sebagai orang jahat, atau seseorang yang memiliki sikap dan perilaku buruk (seakan-akan gue nggak pernah melakukan sesuatu hal yang baik sepanjang hidup gue). Atas pernyataan seperti itu, gue juga nggak tahu, kenapa penilaian mines seperti itu, diberikan ke gue.  

 

Menyampaikan penilaian buruk terhadap kehidupan pribadi orang lain, memang bisa dilakukan oleh siapa saja. Sejumlah orang bahkan menyebutnya sebagai sebuah tindakan yang manusiawi sekali, karena setiap orang memiliki bibit-bibit kemampuan untuk menyakiti sesamanya.

 

Hal ini bisa terjadi karena terkadang, seseorang merasa lebih berhikmat atau merasa kehidupannya jauh lebih baik dari orang lain. Apalagi kalo didalam hati sudah tertanam sikap seseorang yang tidak ingin melihat orang lain tampil lebih baik dari dirinya. Sikap seperti ini bisa membuat penilaian buruk dapat dengan mudah dinyatakan.

 

Adanya perasaan iri (sikap antisosial) dan perasaan tidak suka kepada orang lain (karena kedegilan hati atau karena naluri “liar” semata), merupakan bagian dari rangkaian penyebab, seseorang dapat dengan spontan membuat penilaian buruk terhadap orang lain.

 

Dalam beragam kasus, penilaian buruk bisa disampaikan seseorang, meskipun seseorang tersebut, sama sekali tidak mengenal orang yang telah diberikan penilaian buruk.

 

Tidak sedikit pula jumlah orang yang mudah memberikan gambaran negatif terhadap diri orang lain, hanya karena baru mendengar selentingan berita gossip atau issue.

 

Mereka yang baru pertama kali bertemu atau belum lama berkenalan, juga bisa menyampaikan opini negatif, hanya karena melihat gaya berbicara, gaya berpakaian, gaya berjalan, atau hal-hal lain, yang menjelma sebagai gambaran tampilan luar diri seseorang.

 

Upaya untuk menggeneralisasikan suatu permasalahan, juga bisa menjadi penyebab seseorang bisa dengan lancar menyampaikan penilaian buruk atas orang lain. Tujuannya apalagi kalo bukan untuk merusak citra diri orang yang diberikan penilaian.

 

Bisa dikatakan, adanya sentimen pribadi atau perasaan tidak senang yang melingkupi diri seseorang, bisa juga membuat seseorang itu menghadirkan penilaian buruk terhadap orang lain.

 

Sikap meremehkan atau menyepelekan orang lain, juga bisa terjadi karena adanya negative thinkingyang merasuki benak pikiran. Tidak sedikit pula yang menyatakan, hal itu sah-sah saja, selama ada niatan baik agar orang yang dinilai buruk itu, dapat merubah perilaku buruknya.

 

Jika memang untuk kebaikkan, tentu fine-fine saja. Akan tetapi kalau sifatnya sudah tidak terkendali, maka keluarnya penilaian buruk atas orang lain (terutama kalo faktanya berbeda atau tidak diikuti dengan adanya keterangan-keterangan yang mendukung kebenaran isi pernyataan), maka tindakan “menurunkan harkat dan martabat” orang lain itu, dapat dikatakan sebagai “pembunuhan karakter” orang lain.

 

Ada banyak alasan dan faktor kemungkinan yang bisa membuat seseorang menyampaikan penilaian buruk atas orang lain.

 

Namun dapat dipastikan, hampir semua alasan atau faktor yang mengemuka pada saat seseorang menyampaikan penilaian buruk terhadap orang lain, semuanya itu hanya berlandaskan pada adanya suatu upaya untuk mencari pembenaran terhadap pernyataan yang terlanjur diucapkan. Jangan lupa, setiap orang bisa berbuat alpa, meskipun berlaku alpa tidak selalu bisa ditolerir.

 

Cukup banyak pula pernyataan penilaian buruk yang tidak memiliki dasar kuat, karena sesungguhnya pernyataan itu baru terpikirkan sepintas lalu, baru sejenak dilihatnya, baru didengar dari orang lain, atau belumlah lama diketahuinya.

 

Well, siapakah diri kita ini, sehingga seolah-olah kita berhak menentukan seseorang itu buruk atau tidak?

 

Normalnya, kita mengenal baik diri seseorang terlebih dahulu, baru kita bisa menyampaikan opini atau pandangan tentang : apa, siapa, dan bagaimana personality orang lain, sehingga penilaian yang kita berikan dapat obyektif, karena tidak didasari oleh pengetahuan atau pengenalan sesaat semata.

 

Dalam memberikan penilaian terhadap orang lain, sudah selayaknya pula kita “menjejakkan kaki kita di tanah”... kita tidak membual atau melebih-lebihkannya. Kita harus tau dan menyadari, kalo setiap isi pernyataan yang kita buat itu, harus berisikan kebenaran, bukan mencari pembenaran.

 

Oleh sebab itu, kita jangan membiasakan diri untuk cepat-cepat menyampaikan / menyatakan suatu penilaian buruk tanpa dasar. Ekspektasi atau penilaian yang kita buat, benar-benar bisa berdampak pada alur kehidupan orang lain, sehingga kita perlu mawas diri dalam membuat penilaian terhadap orang lain.

 

Suka atau tidak suka kita pada orang lain, kita harus tetap menempatkan kebenaran diatas egoisme sikap pribadi kita masing-masing, terutama saat membangun opini tentang keburukkan sikap atau perilaku orang lain. Kita harus tetap proporsional dan menjaga alur pemikiran rasional kita, sehingga tidak muncul adanya suatu sikap semena-mena serta upaya untuk “menghakimi” orang lain.

 

Apabila diperlukan, ada baiknya kita melakukan verifikasi atau pembuktian terbalik, sebelum kita berani menyatakan opini kita tentang orang lain. Bersikap obyektif itu, amatlah penting.

 

Mari kita berbicara secara ilmiah dan logis.

 

Hasil study yang dilakukan oleh Dustin Wood, PhD. dari Wake Foret University mengatakan : adanya persepsi kita terhadap orang lain, sesungguhnya dapat pula menceritakan bagaimana karakter diri kita yang sebenarnya, termasuk diantaranya, sisi negatif diri kita dan kondisi psikologis kita.

 

Dalam laporan hasil study yang dilakukannya itu, Dustin Wood, PhD. juga menyampaikan :

"Sifat kepribadian negatif seseorang, dapat diasosiasikan dari cara orang tersebut menilai negatif orang lain. Sikap negatif juga erat hubungannya dengan depresi dan sebentuk kelainan kepribadian yang beragam. Persepsi negatif yang berlebihan tentang orang lain bisa menunjukkan bahwa orang tersebut mempunyai sifat keras kepala, tak bahagia, neurotik, atau memiliki kepribadian yang negatif.”

 

Paparan selengkapnya atas hasil study tersebut, dapat dilihat dalam Journal of Personality and Social Psychology.

 

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sepanjang usianya hanya melakukan yang jahat-jahat saja. Bahkan seorang penjahat yang paling kejam sekalipun, memiliki hati untuk berbuat kasih terhadap sesama. Dan seseorang yang selalu nampak alim, belum tentu hatinya tidak diisi oleh keinginan untuk menyakiti orang lain.

 

Siapa yang menduga kalo Melinda Lee, seorang senior manajer sebuah bank terkemuka, ternyata seorang pencuri di tempat kerjanya sendiri? Siapa yang menduga kalo Mpok Nori, artis lenong senior yang suka berteriak-teriak dalam menjalankan perannya saat pentas, adalah seorang dermawan?

 

Apapun kondisi dan keadaan yang ada di depan mata kita, sudah selayaknya kita bisa mengendalikan diri kita. Jangan membiasakan diri terburu-buru mengungkapkan penilaian buruk atas orang lain, karena belum tentu, orang lain itu memang memiliki keburukkan sikap seperti yang kita nyatakan. Simak dan cerna baik-baik terlebih dahulu.

 

Satu hal yang pasti : Kita bukanlah hakim yang mempunyai hak untuk menghakimi orang lain.

 

Kita harus membiasakan diri untuk melakukan konfirmasi untuk sebuah cerita yang dipenuhi dengan gambaran-gambaran keburukkan sikap orang lain. Biasakanlah untuk tidak menerima atau menelan cerita seperti itu, bulat-bulat.

 

Bersikap santun, seharusnya ada dalam daftar kamus gaya hidup kita. Berpikir cerdas, harus menjadi gambaran nyata tentang kemampuan diri kita dalam mempresentasikan sesuatu, utamanya dalam mengungkapkan pendapat. Dan berlaku bijaksana, kita pergunakan sebagai “tali pengendali” sikap kita.

 

Pahami serta kenali suatu masalah dengan tidak setengah-tengah, sehingga kelak kita bisa berkata-kata dengan menggunakan logika akal sehat.

 

Ingatlah... Orang lain juga bisa memberikan penilaian buruk atas diri kita. Bagaimana pun, Hukum Tabur-Tuai berlaku dalam hidup ini, meskipun kita tidak mengaminkannya. So, jangan cepat berprasangka dan menilai orang lain buruk.

 

"Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan.”  (Amsal 3 : 7)

 

 

P e a c e & GBU ALL

 

 

.Sarlen Julfree Manurung 

KEBOHONGAN PUBLIK

KEBOHONGAN PUBLIK, Saat Menyampaikan Kebenaran Sepertinya Tak Lagi Menarik



Beberapa waktu belakangan ini, media massa banyak mengangkat berita tentang kebohongan publik yang dilakukan oleh para anggota DPR, oknum pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat, atau artis, yang sedang menghadapi kasus hukum.

 

Selaku tokoh panutan masyarakat (public figure), tidak selayaknya mereka mempertontonkan satu contoh perbuatan tidak terpuji. Mereka tidak mengakui telah berbuat salah, dengan menghadirkan kesaksian atau keterangan bohong, yang dianggap bisa melepaskan mereka dari jerat hukum, atau setidaknya, mengurangi masa penahanan mereka.  

 

Nampaknya, mereka telah terbiasa menjadi “saksi dusta” atau "pendusta". Sepertinya, berbohong telah menjadi gaya hidup mereka. Lagak-lagaknya, mereka tidak memikirkan, kalau berbohong itu dosa.

 

Pada sisi yang lain, pilihan sikap mereka untuk berbohong kepada masyarakat, telah menghadirkan paradigma atau anggapan negatif ditengah-tengah masyarakat : kalau berbohong itu, dibolehkan atau sah-sah saja untuk dilakukan.

 

Masyarakat dibuat gamang dengan pilihan sikap mereka yang tidak terhormat itu, hingga akhirnya ikut-ikutan senang menyampaikan kesaksian, keterangan, atau cerita bohong dihadapan orang banyak, karena melihat orang-orang yang menjadi panutan atau orang-orang yang dihormatinya, tidak malu untuk berkata bohong di muka umum.

 

Adanya nilai-nilai moral yang menganjurkan setiap orang untuk senantiasa berkata jujur, dan suatu pola pemikiran baik yang meminta setiap orang untuk berpikiran jernih dengan memperhatikan konteks serta perspektif pemikiran benar saat memandang permasalahan, sepertinya tidak lagi menjadi pilihan utama dalam menentukan sikap.

 

Saat ini, ada banyak anggota masyarakat kita yang senang membuat “sensasi”, dengan mengumbar cerita atau keterangan bohong. Berbohong seakan-akan menjadi sesuatu hal yang “legal” untuk dinyatakan, meskipun mereka tahu dan menyadari, kalau berbohong adalah perbuatan salah serta tidak layak untuk dikembangkan.

 

Tapi entah mengapa, banyak orang yang tetap memilih untuk berbohong dibandingkan menyatakan kebenaran.

 

Ketika menyampaikan kebohongan publik, setiap orang pasti memiliki motif. Dalam sejumlah kasus, mempublikasikan kebohongan merupakan sebuah upaya untuk menunjukkan konsistensi seseorang dalam bersikap, yaitu dengan bersikukuh mempertahankan jawaban, keterangan, informasi, atau hal-hal lain, yang pernah dinyatakan kepada orang lain.

 

Sedangkan pada sisi yang lain, melansir kebohongan publik juga dilakukan untuk menjelek-jelekkan, memfitnah, atau mendiskreditkan orang lain, dengan menghembuskan cerita bohong kepada orang banyak, sehingga orang banyak itu terpengaruh (percaya karena terperdaya), dan ikut terprovokasi untuk ikut beropini negatif (upaya pembunuhan karakter orang lain).

 

Ada banyak contoh kasus yang bisa memberikan gambaran, bagaimana kebohongan publik merusak pola tatanan hidup baik yang selama ini ada. Kebohongan publik juga mengganggu (bahkan bisa menyengsarakan) kehidupan orang lain. Jadi, bisa disimpulkan, apapun dalihnya, sesuatu hal yang tidak dilandasi oleh kebenaran, pasti menimbulkan ekses negatif.

 

Pada dasarnya, seseorang yang melakukan kebohongan publik, bukanlah seorang ksatria. Mereka hanyalah pecundang, yang telah menginspirasi diri mereka sendiri untuk mencari pembenaran terhadap suatu tindakan salah yang pernah dilakukan, dengan menggunakan cara-cara yang tidak terhormat.

 

Apabila seseorang berani menyampaikan kebohongan publik, maka orang tersebut adalah seseorang yang tidak bertanggung jawab, seseorang yang sedang mencoba berlari dari tanggung jawab, seseorang yang kurang kerjaan, serta seseorang yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri.

 

Mereka mencari kesenangan dan kepuasan batin dengan melakukan yang salah. Berkata jujur tidak lagi menjadi panglimanya. Padahal bisa dibilang, selain membohongi orang lain, mereka juga telah membohongi dirinya sendiri.

 

Apabila 1 + 1 = 2, dengan menyampaikan cerita atau keterangan bohong kepada orang lain, kita telah melakukan 2 kesalahan : kepada diri sendiri, dan kepada orang lain. Dimanakah nilai lebihnya? Tidak ada. Oleh sebab itu, sebelum “membual”, bertanyalah kepada diri sendiri, apakah benar pilihan sikap seperti itu?

 

Apakah dengan menyampaikan kebohongan publik, maka masalah kita akan selesai? Apakah kita siap untuk menerima konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukan, karena telah menetapkan langkah yang tidak dipikirkan terlebih dahulu?

 

Tidak ada kebenaran dalam suatu pernyataan bohong. Jadi, untuk apa berbohong? Adakah gunanya apabila kita menyampaikan cerita, keterangan atau informasi yang berisi kebohongan semata? Kita mungkin akan merasa “merdeka” untuk sesaat waktu. Namun, bagaimana dengan waktu-waktu selanjutnya? Akankah tenang hati kita?

 

Ada hal-hal lain yang lebih layak untuk dipelajari. Berpikirlah terlebih dahulu. Bersikaplah bijaksana dengan mencari hikmat yang bisa membuat kita tidak mencari pembenaran akan sesuatu, namun melihat serta menemukan kebenaran di dalam sesuatu.

 

Ingatlah.. tidak ada penyesalan yang datang duluan. Jangan karena ada nila setitik, rusak semua susu sebelanga (it means : jangan merusak reputasi baik yang selama ini capek-capek dibangun, hanya karena sempat / pernah "iseng" membuat kebohongan publik).

 

Selamat menyampaikan kebenaran kepada publik.

 

Salam Sejahtera,

 

 

.Sarlen Julfree Manurung

 

 

 

NOTE :

Saya merasa tulisan saya ini belum teramat mendalam. Namun, saya meyakini, point-point yang ingin saya sampaikan, telah ada didalamnya. Semoga bermanfaat.

Untuk Apa Marah-Marah, Nyantai Aja Lagi

Beberapa waktu belakangan ini, ada banyak orang yang memanfaatkan situs jejaring sosial sebagai media untuk melampiaskan rasa kesal atau rasa kecewanya. Kalau bisa disobek-sobek, mungkin wall facebook mereka sudah mereka sobek-sobek... hehehehe...

 

Mereka emosi karena hal-hal tertentu yang nggak bisa mereka pegang atau kendalikan lagi. Sebagian kecil lainnya tak mampu menahan diri untuk menuliskan kata-kata penuh dengan kemarahan, karena mereka memang pemarah.

 

Yup, hobby marah-marah merupakan kegemaran sebagian anggota masyarakat kita. Mereka mudah sekali tersinggung kalau mereka “merasa” ada orang yang melecehkan mereka. Padahal, itu baru perasaan lohh... Belum yang memang benar-benar melecehkan.

 

Semua bentuk ucapan atau tindakan yang nggak sesuai dengan hati nurani mereka, diartikan sebagai upaya untuk merendahkan harkat dan martabat mereka. Dikit-dikit marah...dikit-dikit marah... Apa gak ada hal lain yang bisa dilakukan selain marah-marah?

 

Terkadang, nggak ada hujan nggak ada badai, tau-tau udah marah-marah. Nyebelin banget. Gak tau permasalahannya apa, mereka paling cepet marah dan paling kenceng marah-marahnya.

 

Hmmm.. kalau marah-marah dengan memanfaatkan situs jejaring sosial, itu amat berbahaya lohh... Dikatakan berbahaya, karena segenap pernyataan yang kita tulis di situs jejaring sosial, bisa dibaca oleh banyak orang, terutama oleh orang-orang yang tercatat di friendlist kita.

 

Well, mengambil ungkapan yang ditulis oleh seorang teman di blog pribadinya : Kita gak pernah tau apa yang ada di benak pikiran orang lain tentang diri kita. Respon atau reaksi mereka saat ada orang yang marah-marah, mungkin datar-datar saja. Tapi kita gak pernah tau, bagaimana kedalaman dari hati mereka saat melihat “pertunjukan” atau aksi dari orang yang sedang marah-marah.

 

Marah-marah itu nggak menyelesaikan masalah. Jangan berpikir orang-orang yang ada di depan kita, akan minder atau ciut nyali kalau melihat gaya kita marah-marah. Mungkin saja mereka diam karena tidak ingin memancing keributan. Tapi, kalau diam mereka ternyata hanya manis di depan mata saja, di belakang kita, sikap mereka bisa jauh lebih garang, bagaimana?

 

Gak ada untungnya pula marah-marah, malah bisa bikin tambah masalah. Jadi, sebelum mulut kita mau mengeluarkan kata-kata penuh kemarahan, tekaplah erat-erat segera...!!!  Tenangkan diri dan berusahalah untuk tetap berpikiran jernih. Hati boleh emosi, tapi kepala harus tetap dingin. Kalau bisa seperti itu, kita bisa menyelesaikan masalah tanpa harus marah-marah. Lebih elegan dan lebih terlihat percaya diri.

 

So, jangan habiskan air ludah kita untuk marah-marah, karena marah-marah, bukanlah cara tepat dan bijaksana untuk menyelesaikan perkara yang ada di depan mata. Marah-marah Cuma bikin diri sendiri serta orang lain, jadi punya dosa. Hentikan sikap gak baik itu, yooo... Hentikan sekarang juga.

 

Be a wise manPositive thinking ajaahhh...lagi. Disegani orang lain lebih baik dari pada ditakuti orang lain.

 

 

Salam Damai,

 

 

.Sarlen Julfree Manurung

( seseorang yang suka dipancing orang agar marah )

Agar Tak Kosong Tong Sebuah Cerita

Ada orang yang berkata dengan lantang, kalau dirinya tahu tentang sebuah cerita. Padahal, ia tak pernah tahu bagaimana cerita yang sesungguhnya. Kalaupun ia tahu, ia hanya sekedar tahu saja. Semua yang dilihat dan didengarnya, hanyalah : KATANYA.

 

Jika memang hanya "katanya", untuk apa merasa tahu segalanya? Bersikap demikian, sama seperti orang yang mengisi air ke dalam sebuah bejana, namun bejana itu dipenuhi lobang pada bagian dasarnya.

 

Lubang-lubang itu membuat orang itu tak pernah tahu, kapan air bisa memenuhi bejana. Meskipun telah mengeluarkan tenaga hingga 1000 PK untuk menimba, namun karena lubang-lubang itu, air tak pernah mampu memenuhi ruang dalam bejana. Menghabiskan tenaga saja...

 

Cuma ada satu cara untuk tahu, gantilah bejana dengan yang baru, jangan ditambal, sehingga dalam sekejap waktu bejana itu dapat dipenuhi dengan air, dan airnya, tidak terbuang sia-sia... Jika ditambal lubangnya, satu waktu nanti, air yang berada didalamnya, akan merembes juga.

 

Dengar dan yakinilah kebenaran dari sebuah cerita, baru engkau bisa bicara, agar kemudian tidak kosong cerita yang engkau nyatakan kepada seluruh dunia, karena ternyata, ceritamu tak sama dengan keadaan sesungguhnya.

 

Jika mulutmu gatal untuk tetap nyaring bersuara, tekaplah erat-erat sekarang juga..!!!

 

Orang cerdas, tak akan pernah asal dalam berkata-kata. Orang cerdas, tahu makna dan arti dari kata-kata yang diucapkannya. Orang cerdas, berpikir dahulu sebelum berani banyak berkata-kata.

 

"Maaf, catatan kecil ini bukan KATANYA."

 

 

 

.Sarlen Julfree Manurung

Wednesday, 4 May 2011

Love, A Word For Every Body

"Perjalanan cinta sepasang anak manusia, tak pernah ada yang dapat menduganya."

- NI LUH SEKAR ( Pemimpin Redaksi Majalah dewi)


Banyak orang tua (khususnya para orang tua yang memiliki anak perempuan) dilanda rasa cemas oleh isi pemberitaan media massa yang menyebutkan : pada saat ini, tindak kekerasan dalam masa pacaran (abusive dating relationship) di kalangan anak muda, begitu tinggi.

Apabila melihat ekspose berita media massa, para orang tua bahkan tidak menyangka, kalau beragam tindak kekerasan yang terjadi pada diri seorang anak remaja putri atau perempuan usia muda beberapa tahun belakangan ini, ternyata banyak yang berawal dari perkenalan dengan memanfaatkan perangkat teknologi yang biasa dipergunakan atau berada di tangan anak-anak mereka.

Isi pemberitaan media ini seakan mengingatkan masyarakat pada kasus pelik yang dihadapi : Marietha Novatriani, Syilvia Russarina, Steffany Adelina, serta Icha Airlangga, yang menempatkan mereka sebagai korban dari sebuah tindak kejahatan.

Mereka hanyalah sebagian kecil dari sejumlah remaja putri dan perempuan usia muda yang dikabarkan telah lama meninggalkan rumah setelah berkenalan serta diketahui pergi bersama teman pria yang belum lama mereka kenal melalui situs jejaring sosial, facebook.

Sejumlah media mengatakan, dalam rentang 6 bulan terakhir, ada lebih 100 remaja putri dan perempuan usia muda mengalami hal yang sama, "dibawa pergi" seseorang yang tidak mereka kenal dengan baik.

Apabila dilakukan penyelidikan lebih jauh, mungkin masih ada banyak perempuan usia remaja dan dewasa muda lain yang memiliki alur cerita sama namun tidak disebutkan dalam pemberitaan media massa karena orang tua atau keluarga besar mereka tidak ingin ada publikasi atas kasus kepergiaan anak-anak mereka dari rumah dengan seseorang yang tidak mereka kenal dengan baik.

Terlihat jelas kalau ada banyak anak-anak remaja putri atau perempuan usia muda di negara kita, yang teramat polos dalam berpikir serta lemah dalam kemampuan mengenali sikap terselubung orang lain yang berusaha mendekati mereka, sehingga mudah tergoda oleh perilaku “berkesan baik” namun sesungguhnya berbalutkan lumpur nafsu.

Cukup menyedihkan rasanya, karena tindakan mereka itu didasari oleh adanya suatu keinginan untuk mendapatkan cinta dari orang lain kepada diri mereka, meskipun perasaan ingin dicintai itu, kelak berasal dari orang yang baru saja memasuki kehidupan mereka.

Kemanakah cinta itu, sehingga mereka harus mencari dalam "tumpukan jerami” dan akhirnya teramat mudah terpana oleh adanya "pesona cinta semu" yang dinyatakan secara gombal oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab?

Mungkin ini yang dinamakan dengan cinta buta : Menerima pernyataan kasih dari seseorang yang belum diketahui apa sesungguhnya maksud dan tujuan dari orang tersebut menawarkan / mengarahkan gairah cinta pada mereka, sedangkan mereka sendiri amat mudah percaya pada orang lain yang teramat gencar mengumbar kata cinta pada mereka, meskipun sesungguhnya mereka sadar, mereka baru saja mengenal orang lain itu.

Hakekat cinta yang mereka terima adalah palsu, dimana kata-kata rayuan dan beragam ungkapan kasih yang dinyatakan, bukan didasari oleh cinta, namun keinginan untuk mendapatkan sesuatu diluar cinta.

Diakui atau tidak, mungkin kita juga pernah mendapatkan (bahkan pernah menerimanya) adanya tawaran sebuah cinta semu yang penuh kepalsuan dari orang-orang yang sesungguhnya hanya ingin mengumbar nafsu dengan mengatasnamakan cinta.

Sangat mungkin pula, kita juga pernah menawarkan cinta semu kepada orang lain. Semuanya itu, adalah bagian dari pesona cinta pada saat mulai ditaburkan. Kita semua butuh menerima atau membagikan rasa cinta yang menggelora di hati kita, meskipun terkadang, kita salah menerjemahkannya.

Kehangatan cinta bisa muncul sebagai sebuah "hadiah" yang tak terduga, sehingga sampai lupa untuk meneliti terlebih dahulu kebenarannya, hingga segenap pesona cinta yang ditawarkan, langsung diterima, meskipun ada kesadaran, bahwa pada akhirnya, kesemuanya itu kelak menghadirkan rasa sesal teramat mendalam.

Cinta itu, milik semua orang. Karena cinta itu, ada di dalam hati. Bisa dirasakan, bisa diungkapkan, dan bisa membuat hidup ini indah, bahkan teramat indah untuk sekedar dilalui.

Mencintai dan dicintai orang lain, merupakan keadaan yang diinginkan oleh setiap orang. Itu adalah sebuah kondisi alamiah.

Tuhan menghadirkan adanya rasa cinta didalam hati manusia, memang bukan untuk menyakiti, namun untuk membawa kebahagiaan hidup, karena cinta itu, adalah sebuah anugerah terindah yang memang dimiliki setiap insan manusia. Cinta, adalah milik semua orang.

Dan ketika cinta mulai bersemi, manusia ingin segera menggapai kebahagiaan, bukan menuai rasa sakit hati, atau menerima hadirnya penyesalan yang teramat dalam.

Oleh karena thema yang begitu indah, telah membuat banyak orang yang percaya tentang adanya cinta pada pandangan pertama. Padahal , apabila ditelusuri lebih jauh, rupa nyata yang sesungguhnya ada, adalah nafsu pada pandangan pertama (Dr. Jill Murray – penulis buku : But I Love Him).

Relationship is not about how much love you have in the beginning, but how much love you build till the end.

Kebesaran makna cinta memang bukan pada saat awal rasa itu ada. Akan tetapi, obyektifitas kekuatan rasa cinta, sesungguhnya merupakan rangkuman beragam ungkapan dan tindakan kasih yang mengalir serta menaungi hati seseorang yang mencinta kepada pasangannya.

Ungkapan cinta mungkin membuai. Perjalanan kisah cinta, memang tak terduga. Namun, segenap pesona cinta yang dinyatakan, bukanlah untuk menempatkan orang lain dalam sebuah keadaan penuh dilema, laksana sebuah masalah yang tak pernah ada kata akhir.

Akan tetapi agar semua orang menyadari, bahwa hasrat mencintai dan dicintai, mengandung nilai-nilai kebersamaan yang dibangun untuk hadirkan harmoni dalam tatanan nilai yang sederajat, terus mengalir, terus terjaga, penuh dengan rasa, dan bukan untuk bisa menyakiti atau berlaku sesaat.

Cinta, adalah sebuah kata untuk semua orang. Wujudnya penuh keagungan, pesonanya penuh dengan ragam ungkapan. Oleh sebab itu, perlakukanlah cinta dengan penuh kejujuran didalam rasa, bukan untuk mencari kesenangan, atau hanya untuk membangun sebuah citra, agar tidak diejek orang.

Perilaku Kleptomania dalam Jalinan Persahabatan

Lagi-lagi, saya ingin berbicara tentang persahabatan. Tapi kali ini saya ingin mewacanakan persahabatan dari dimensi dan pola pemikiran yang agak berbeda, terutama apabila dibandingkan dengan sejumlah artikel mengenai persahabatan yang pernah saya tulis sebelumnya.

Harapannya, tulisan saya ini dapat menambah wawasan cakrawala berpikir kita, khususnya dalam mengantisipasi adanya suatu keadaan "tidak menyenangkan" yang bisa merusak hubungan persahabatan kita dengan orang lain, sehingga kelak, kita dapat tahu bagaimana cara menyikapi keadaan "tidak menyenangkan" tersebut, dan selanjutnya kita tahu, bagaimana cara menjalani kehidupan persahabatan, secara simpatik dan (tentu saja) bermartabat.

Saya merasa perlu menuliskannya, karena keadaan yang saya sampaikan disini, telah dialami oleh banyak orang, dan kiranya tulisan yang didasari oleh pengalaman pribadi sejumlah orang terdekat serta teman saya ini, bisa menjadi bahan pelajaran berharga bagi masing-masing kita. Guys, sesuatu hal yang buruk, tidak layak untuk di contoh.


Perilaku Kleptomania Seorang Sahabat

Sebuah anekdot lama mengatakan : Dalam hidup ini, sangatlah mudah mencari musuh daripada menjaga, membina dan mempertahankan sebuah hubungan persahabatan.

Gak usah dipikir lama-lama, fakta dan kenyataannya memang demikian. Jangankan kita menjaga keutuhan hubungan persahabatan dengan orang lain agar tetap terjaga baik, melakukan perawatan atas barang-barang pribadi yang kita miliki agar tetap dalam kondisi baik saja, sering kali kita lalai melakukannya karena kita tidak memasukkannya ke dalam daftar rutinitas atau non-rutin kegiatan kita.

Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan adanya suatu pernyataan yang mengatakan : tidak seluruh bentuk interaksi dalam kehidupan “persahabatan” seseorang dengan sahabatnya, hanya berisikan hal-hal baik, hal-hal menarik atau hal-hal yang menyenangkan hati semata, namun bisa juga menghadapi suatu keadaan yang… amat tidak bersahabat.

Kita mungkin sering mendengar adanya kisah permusuhan yang terjadi antara seseorang dengan sahabatnya, karena sahabatnya tidak mengembalikan uang atau barang yang telah cukup lama dipinjamnya. Mungkin pula kita pernah mendengar tentang permusuhan yang terjadi karena seseorang dianggap telah mencuri “pacar” dari sahabatnya.

Well, sepertinya kedua contoh peristiwa “gak menyenangkan” diatas, sudah menjadi rahasia umum di banyak lingkungan pergaulan. Mungkin lingkupnya masih amat terbatas, yaitu hanya merebak di lingkungan kawan sepergaulan semata. Namun bagaimana kalau sudah mencakup masyarakat yang lebih luas?

Pada saat berita tidak menyenangkan merebak di kalangan artis, maka berita-berita "penuh sensasi" keartisan tersebut, akan "segera" menjadi bahan gossipan para ibu-ibu yang “punya banyak waktu luang” untuk bergunjing.

Adapun bentuk perilaku "tidak menyenangkan" dan "amat menakutkan" yang saya maksudkan disini, yaitu adanya perilaku kleptomania yang menjadi bagian dari kepribadian seseorang, dalam hal ini, bagian dari perilaku seorang sahabat kita.

Pada dasarnya, kleptomania adalah sebuah perbuatan mencuri barang milik orang lain. Biasanya, barang-barang yang dicuri berupa pernak-pernik aksesoris atau perhiasan berbentuk kecil, unik, dan tidak mudah ditemukan di pasaran. Benda-benda seperti inilah yang menjadi target pengambilan pelaku kleptomania.

Belakangan ini, aksi pelaku kleptomania, tidak hanya tertuju pada pengambilan barang-barang kecil, unik, dan jarang ditemukan di pasaran semata, namun juga mengambil uang sebagai target sasaran. Ketika hal itu terjadi, maka pelaku klepto tersebut telah melakukan aksi layaknya seorang pencuri, namun dengan sasaran target pencurian, orang-orang terdekatnya sendiri.

Kalau sudah sampai dikatakan "suka", maka tindakan kleptomania telah menjadi bagian dari sebuah kebiasaan buruk yang mengemuka karena seseorang ingin memiliki barang milik orang lain dengan jalan mencuri. Oleh sebab itu bisa dikatakan, pelaku kleptomania, memiliki bakat sebagai seorang pencuri.

Hal yang menarik perhatian saya, beberapa waktu belakangan ini, perbuatan kleptomania (mencuri) tersebut, banyak dilakukan oleh anggota masyarakat terdidik dan berasal dari kalangan masyarakat berada (the have people).

Yup, sudah mulai banyak terdengar cerita adanya sejumlah peristiwa kehilangan barang (dan juga uang) yang (diduga) berkaitan dengan adanya perilaku kleptomania dari kalangan orang-orang terdekat kaum berada. Dalam 3 bulan terakhir, saya sendiri mendengar cerita kasus pencurian dengan modus kleptomania, dimana ada dugaan, pelakunya adalah seseorang yang telah dianggap sebagai seorang sahabat.

Cerita tentang orang kaya terlibat kasus korupsi, mungkin sudah biasa. Tapi kalau mendengar cerita orang kaya memiliki perilaku kleptomania, cukup mengenaskan rasanya apabila hal itu bisa terjadi, karena apabila dilihat dari sisi kemampuan ekonomi, seharusnya mereka dapat memiliki barang yang dicurinya itu dengan jalan membeli.

Perilaku yang Tak Pernah Diduga Sebelumnya

Saat ini, adanya perilaku kleptomania seorang sahabat, telah menjadi momok "menakutkan" bagi komunitas pergaulan orang-orang berada, karena selama ini mereka menganggap, pelaku tindak pencurian secara klepto tersebut, hanya dilakukan oleh orang-orang miskin atau kaum marjinal lainnya, yang melakukan tindakan tersebut karena terdesak oleh pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Namun ketika peristiwa pencurian semakin merebak dan tidak ditemukan pelakunya, semakin muncul dugaan kalau pelaku tindak pencurian tersebut, justru dilakukan oleh bagian dari anggota komunitas mereka sendiri, yaitu seseorang yang sudah cukup lama mereka kenal dengan baik, dan diketahui pula kalau pelaku berasal dari lingkungan keluarga baik-baik.

Memang banyak orang yang tidak menyangkanya. Hal ini bisa terjadi karena pelaku kleptomania, sangat pintar menutupi perilaku buruknya (pandai bersandiwara), dimana mereka tidak menunjukkan gejala kalau mereka memiliki bakat sebagai seorang pencuri.

Pola sikap yang mereka tunjukkan tetap bersahabat, bahkan sikap mereka terlihat penuh perhatian, ketika korban baru menyadari telah kehilangan barang, sehingga tidak mengundang rasa curiga korban aksi kleptomania.

Keadaan ini telah membuat banyak komunitas pergaulan "kelas atas" mulai melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menghindari adanya peristiwa yang sama dalam komunitas mereka.

Adanya aksi pencurian yang dilakukan secara kleptomania oleh orang-orang dari kalangan berada tersebut, tidak memiliki motif ekonomi. Indikator ini pula (bahwa mereka memiliki kemampuan ekonomi baik bahkan teramat baik) yang membuat mereka "tidak diperhitungkan" untuk masuk dalam pihak-pihak yang patut dicurigai.

Pada dasarnya, tindak pencurian itu dilakukan "hanya karena" mereka ingin memiliki benda-benda kecil, unik, dan tidak mudah ditemukan di pasaran, barang-barang berharga atau sejumlah besar uang yang dipunyai sahabatnya.

“Masak sih, seseorang yang berasal dari lingkungan berada, tidak mampu membeli barang atau benar-benar mereka tidak memiliki uang sehingga harus melakukan tindakan kleptomania?"

Sekali lagi saya katakan, faktanya memang demikian adanya. Beberapa waktu belakangan ini, ada sejumlah komunitas pergaulan, yang mencurigai adanya seorang “musuh dibalik selimut” dalam komunitas persahabatan diantara mereka.


Kebanyakkan Pelakunya Adalah Perempuan

Dalam sejumlah kasus yang telah terekspose, ada kecenderungan, pelaku kleptomania yang saat ini banyak berkeliaran di kalangan orang-orang kaya dan lingkungan pergaulan para eksekutif perusahaan, adalah kaum perempuan. Bisa dikatakan, ada cukup banyak perempuan terdidik, berpenghasilan besar, atau merupakan anak orang kaya, saat ini memiliki perilaku kleptomania sebagai bagian dari kepribadian mereka.

Berbicara soal lingkup persahabatan, kedekatan hubungan persahabatan antara seorang perempuan dengan sahabat perempuannya, jauh lebih erat serta lebih rekat apabila dibandingkan dengan hubungan persahabatan yang tercipta diantara kaum pria atau antara seorang perempuan dengan sahabatnya yang seorang pria.

Adanya kualitas kerekatan hubungan yang jauh lebih intim, membuat persahabatan diantara kaum perempuan menjadi jauh lebih terbuka dan lebih bebas, seperti halnya mereka tidak canggung lagi keluar-masuk kamar / ruang kerja, atau bebas memegang dan membuka dompet / tas / telepon selular sahabatnya.

Tentu saja, keadaan ini membuat mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik, tentang tempat dimana temannya biasa menyimpan / meletakkan uang atau benda-benda pribadi miliknya.

Para pelaku kleptomania benar-benar memanfaatkan "kelengahan" sahabatnya dalam menyimpan / meletakkan barang, untuk melakukan aksi pencurian "di waktu yang tepat" hingga ada tenggang waktu cukup sebelum akhirnya sahabatnya menyadari telah kehilangan barang atau uang.

Rasa curiga tidak mengemuka, karena persahabatan diantara sesama perempuan, selalu menghadirkan kepercayaan tinggi kepada sahabatnya, meskipun, apabila dicermati lebih jauh, segenap alibi maupun fakta yang ada (yaitu pada saat peristiwa kehilangan terjadi), sangat memungkinkan untuk menunjuk wajah sang sahabat sebagai pelaku pencurian.

Kalaupun ada rasa curiga, ada kecenderungan, korban tidak berani secara langsung menyampaikan tudingan / tuduhan, karena mereka lebih meletakkan rasa percaya serta kedekatan emosional dalam hubungan persahabatan, sebagai langkah untuk tidak menyampaikan tuduhan kepada sahabatnya (alasannya, untuk menjaga nilai-nilai persahabatan yang selama ini telah terjalin).

Oleh karena “perasaan tidak enak” itulah, sebuah tuduhan tidak diajukan, meskipun ada sejumlah kerugian materi yang harus ditanggung akibat dari adanya perilaku klepto sahabatnya sendiri.

Kok Bisa Ya, mereka melakukan perbuatan seperti itu?

Antara Keinginan Memiliki dan Kebutuhan Ekonomi

Sejumlah kalangan mengatakan, hal itu bisa saja terjadi, karena pelaku kleptomania (dalam hal ini, orang-orang kaya) adalah manusia juga, yang mempunyai rasa iri (kecemburuan sosial) atau ada keinginan (juga) untuk bisa memiliki benda atau sejumlah besar uang tunai yang dimiliki sahabatnya. Hidup berkelimpahan materi dan harta kekayaan bukan berarti seseorang tidak memiliki kekurangan, layaknya rasa iri.

Pada saat rasa iri hati semakin mengemuka, keinginan untuk melakukan aksi kleptomania, segera saja menaungi benak pikiran. Padahal mereka memiliki kelimpahan materi untuk bisa mendapatkan benda yang sama, bahkan mereka bisa untuk mendapatkan benda yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan benda yang dimiliki sahabatnya.

Beberapa kalangan juga mengatakan, adanya perilaku kleptomania karena adanya desakan kebutuhan ekonomi yang harus sesegera mungkin dipenuhi. Namun, apabila kita mengingat kelompok strata kemampuan ekonomi dari para pelaku kleptomania "kelas atas" tersebut, melakukan tindak pencurian untuk menutupi masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, "sepertinya" tidak masuk hitungan.

Life Is Not Adventure

Adanya kesenangan melakukan aksi kleptomania yang menjadi bagian dari perilaku seorang sahabat, membuat cerita hubungan persahabatan, dipenuhi oleh rasa curiga. Tentu saja, keadaan yang penuh curiga, bukanlah keadaan yang ingin dijalani pada saat menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain.

Terkait dengan adanya perilaku menyimpang dari orang-orang terdekat, tentunya akan meghadirkan adanya pandangan masyarakat, dimana perilaku tersebut merupakan ekspresi dari seseorang yang memiliki masalah sosial.

Dinamika kehidupan pergaulan sehat, yang berkembang dengan baik karena orang-orang yang ada didalamnya telah memiliki pendidikan yang baik, hingga bisa membuat seseorang sudah dapat hidup berkecukupan (bahkan berkelimpahan materi), tidak mengenal adanya perbuatan yang bisa merugikan orang lain, terutama, menyakiti hati dan perasaan dari sahabat-sahabatnya.

Seseorang yang terdidik tidak akan pernah mau "menyentuh" berbagai bentuk tindak kriminal karena mereka pasti tahu apa konsekuensi ketika hal itu mereka lakukan. Namun, seorang terdidik tidak akan memikirkan adanya konsekuensi dari adanya perilaku seorang kriminal yang mereka lakukan, apabila mereka menganggapnya sebagai sebuah kesenangan (keinginan memiliki) belaka.

Tidak ada alasan pembenaran bagi seseorang untuk melakukan tindak kriminal, layaknya tindak pencurian yang dilakukan oleh seorang kleptomania. Demikian pula halnya apabila tindakan tersebut dikatakan hanya untuk memenuhi kesenangan pribadi semata, yaitu untuk memiliki benda-benda berharga yang dimiliki sahabatnya.

Oleh sebab itu, apapun maksud dan tujuannya, melakukan tindak pencurian dalam rupa kleptomania, adalah sebuah perbuatan salah (melanggar aturan hukum), dan tidak layak untuk diekspresikan (apalagi dikembangkan) sebagai bagian dari cara kita menjalani kehidupan pergaulan, khususnya, dalam hubungan persahabatan kita dengan orang lain.

Sangatlah disayangkan apabila seseorang dalam menjalin hubungan persahabatan, harus dilalui dengan menghadirkan perilaku kleptomania. Tindaklah pantas kiranya apabila baiknya alur kisah persahabatan yang selama ini tercipta, harus tercoreng hanya karena ada keinginan untuk memiliki barang atau uang yang dipunyai sahabat.

Hidup ini memang bagaikan sebuah kisah petualangan. Namun, melakukan suatu tindak pidana, apapun maksud dan tujuannya, bukanlah sebuah petualangan hidup. If you do that, life is not adventure. Doing illegal acts, only make you in big trouble.

Kiranya model persahabatan seperti ini, tidak dicontoh oleh siapapun juga.

.Sarlen Julfree Manurung

NOTE :

Kleptomania juga merebak di kalangan para designer dan kalangan akademisi. Bagi para designer : Please, jadilah seorang designer (produk atau bangunan) sejati agar kita memiliki kebanggaan karena karya kita diterima masyarakat pengguna jasa designer. Bagi para akademisi : Orang pintar, tahu bagaimana kecerdasan yang dimiliki dapat memajukan diri, bukan malah memundurkan kemajuan hidup.

Agar Tak Kosong Tong Sebuah Cerita

Ada orang yang berkata dengan lantang, kalau dirinya tahu tentang sebuah cerita. Padahal, ia tak pernah tahu bagaimana cerita yang sesungguhnya. Kalaupun ia tahu, ia hanya sekedar tahu saja. Semua yang dilihat dan didengarnya, hanyalah : KATANYA.

Jika memang hanya "katanya", untuk apa merasa tahu segalanya? Bersikap demikian, sama seperti orang yang mengisi air ke dalam sebuah bejana, namun bejana itu dipenuhi lobang pada bagian dasarnya.

Lubang-lubang itu membuat orang itu tak pernah tahu, kapan air bisa memenuhi bejana. Meskipun telah mengeluarkan tenaga hingga 1000 PK untuk menimba, namun karena lubang-lubang itu, air tak pernah mampu memenuhi ruang dalam bejana. Menghabiskan tenaga saja...

Cuma ada satu cara untuk tahu, gantilah bejana dengan yang baru, jangan ditambal, sehingga dalam sekejap waktu bejana itu dapat dipenuhi dengan air, dan airnya, tidak terbuang sia-sia... Jika ditambal lubangnya, satu waktu nanti, air yang berada didalamnya, akan merembes juga.

Dengar dan yakinilah kebenaran dari sebuah cerita, baru engkau bisa bicara, agar kemudian tidak kosong cerita yang engkau nyatakan kepada seluruh dunia, karena ternyata, ceritamu tak sama dengan keadaan sesungguhnya.

Jika mulutmu gatal untuk tetap nyaring bersuara, tekaplah erat-erat sekarang juga..!!!

Orang cerdas, tak akan pernah asal dalam berkata-kata. Orang cerdas, tahu makna dan arti dari kata-kata yang diucapkannya. Orang cerdas, berpikir dahulu sebelum berani banyak berkata-kata.

"Maaf, catatan kecil ini bukan KATANYA."

.Sarlen Julfree Manurung

Mata Hati

Sama fungsi, namun sering kali bisa lain hasil akhirnya saat kita gunakan...

Kalau kita ingin melihat suatu permasalahan secara jernih, tutuplah mata dan bayangkan kejernihan permasalahan yang sedang kita hadapi dalam hati, bukan dalam gelapnya mata yang tertutup.

Why? Supaya ketika kita membuka kembali mata, kita tahu, kalau yang kita lihat didepan mata sekarang, memang sebuah kejernihan permasalahan, seperti yang kita lihat, di hati kita.

Mata kita tidak akan pernah bisa melihat keindahan dalam gelap, tapi mata hati kita, BISA...

Jangan Pernah Jadi Batu Sandungan Bagi Orang Lain

Curhat kepada seseorang yang telah disebut sebagai teman atau sahabat, adalah sesuatu hal yang biasa dalam kehidupan pergaulan.

Ketika suasana hati sedang senang dan berbunga-bunga, atau saat hati sedang gundah gelisah, memilih untuk berbagi cerita kepada teman atau sahabat merupakan pilihan yang sulit untuk dilewatkan, terutama bagi mereka yang memiliki teman dekat atau sahabat karib dalam lingkungan pergaulannya.

Pada dasarnya, seseorang akan disebut teman atau sahabat yang baik, apabila ia dapat menjadi seorang pendengar yang baik, serta dapat memberikan saran, motivasi, atau informasi yang membangun dan bermanfaat bagi kemajuan individual temannya, sebagai jalan keluar atas masalah yang dinyatakan temannya kepadanya.

Teman atau sahabat yang baik, harus bisa membuka cakrawala berpikir temannya dalam memandang kehidupan dengan baik dan benar.

Dalam hal ini, seorang teman atau sahabat yang baik, tidak akan membiarkan orang-orang terdekat atau yang dikenalnya, tidak mengalami proses pembaharuan hidup, atau tidak meraih kebahagian hidup.

Hidup sebagai seorang teman atau sahabat itu memang memiliki ikatan, yaitu dapat berbagi serta saling mendukung, tidak hanya di saat hati dan diri ini sedang berbahagia, akan tetapi juga saat ada beban pikiran yang melingkupi diri. Itulah fungsi dan arti hidup bergaul yang sesungguhnya.

Namun, sifat yang tadinya dianggap biasa tersebut, dapat berubah 180 derajat menjadi luar biasa, apabila seseorang yang memiliki teman atau sahabat sebagai ajang menyampaikan curahan hati, justru kemudian mendapati dirinya menemui alur kehidupan yang penuh dengan dilema, bahkan memiliki masalah baru, setelah mendengarkan atau mengikuti saran, nasehat, masukan, ataupun ajakan dari orang lain yang telah disebutnya sebagai seorang teman atau sahabat.

Dipilih sebagai tempat berbagi keluh kesah, merupakan sebentuk penghargaan dari orang yang curhat. Apapun isi curhat yang disampaikannya, adalah sesuatu hal yang bersifat personal dan cenderung bermakna rahasia, tidak untuk dikemukakan pada banyak orang.

Memang sering kali, tidak ada pemberian imbalan yang pantas ketika seorang teman atau sahabat mau bertindak sebagai seorang pendengar yang baik, menyimak curhat yang dinyatakan padanya (dan ada baiknya, saat menjadi teman curhat, kita tidak menuntut atau berharap mendapat imbalan / balas budi).

Akan tetapi, pasti ada nilai yang tak mungkin terlepas karena akan selalu diingat dan melekat dalam memori benak pikiran orang yang curhat. Nilai itu adalah : disebut sebagai teman atau sahabat yang baik dan menyenangkan.

Kita harus ingat : membuat orang lain tersandung masalah, membuat orang lain berbuat salah, atau mendorong orang lain melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kata hati, merupakan sebuah kejahatan. Itu sama artinya kita telah menyesatkan atau menjerumuskan orang lain dengan meletakkan batu sandungan didekat / dibawah kakinya hingga orang lain itu terjatuh.

Membuat orang lain merasakan kepahitan itu...dosa.

Besar atau kecil permasalahan yang tercipta, membuat orang lain memiliki beban di hati, merupakan sebuah tindakan yang tidak menyenangkan. Alasannya sederhana saja, karena telah membuat orang lain mempunyai masalah.

Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang ingin memiliki beban masalah. Kalaupun ada masalah, ingin rasanya masalah yang mengemuka segera terselesaikan. Jadi, kenapa harus membuat orang lain memiliki masalah?

Esensi dari kenapa seseorang itu butuh melakukan curhat, selain untuk berbagi kebahagiaan, juga untuk mengurangi beban yang dirasakan telah memberatkan langkah kaki untuk bisa menapaki hari-hari kehidupan dan masa depan yang lebih baik.

Oleh sebab itu, jangalah kita : menyesatkan orang lain, membuat orang lain terpuruk, atau membuat orang lain kehilangan sebagian KASIH yang ada di hatinya, dengan memberikan pandangan-pandangan atau saran yang membuat orang lain "kelak" mendapatkan masalah, atau kelak menangis, meratapi kekeliruan karena telah memilih untuk berbuat atau mengambil sikap yang salah.

Mendengarkan curhat yang sedih / menyakitkan hati secara berulang-ulang (karena nampaknya tidak ada perubahan keadaan), mungkin akan membuat kita emoh, jengah, jenuh, atau bahkan kesal. Padahal kondisi itu terjadi karena orang yang curhat itu merasa BELUM menemukan jalan keluar pemecahan masalah yang bisa membuat hati, pikirannya, dan dirinya nyaman kembali.

Curhat yang membuat kita emoh hingga timbul kekesalan, apabila tidak kita kendalikan, akan membuat kita menyampaikan pandangan-pandangan yang "sifatnya merusak" tanpa disadari (tahu tapi gak sadar telah disesatkan/dirugikan) oleh orang yang mendengarkan pandangan kita itu.

Apa yang akan menjadi jawaban kalau diminta membuat feedback atas pertanyaan berikut : bagaimana perasaan saya kalau hal itu terjadi pada diri saya? Menderitakah hati saya? JAWABNYA : Tentu saja.

Lalu, layakkah saya diperlakukan demikian? JAWABNYA : Tentu saja TIDAK.

Ada pepatah lama yang berkata : Berilah maka engkau diberi. Teman atau sahabat yang baik itu seperti bintang-bintang di langit. Kita tidak dapat selalu melihatnya, namun kita tahu bintang-bintang yang berkerlip cerlang itu, selalu ada (diambil dari e-mail di milist berjudul : Rantai Kebaikan, kiriman dari RuFina-Felisitas = ly_sidar@yahoo.com).

Ketika kita melihat teman kita berbahagia, janganlah kita menebar kecemburuan atau rasa sirik, agar kelak, ketika teman kita suatu saat nanti datang kepada kita untuk curhat sedih, kita tidak berusaha untuk membuatnya jatuh terpuruk oleh karena iri hati yang terpendam didalam hati kita.

Sikap yang seharusnya muncul ketika hal itu terjadi adalah SIKAP SIMPATIK, bukan membuatnya lebih menderita oleh karena kelak rasa bersalah setelah mendengar pandangan atau saran kita yang tidak sesuai dengan kata hatinya.

Arahkan rasa cemburu kita itu agar bisa bermakna positif, membawa damai serta sebongkah sukacita, turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan teman kita, dan bukannya mengandung pikiran atau ego, sehingga kelak tidak timbul niat atau pikiran jahat dalam benak pikiran kita padanya.

Berniat dan berpikiran jahat saja sudah dosa, apalagi membuat atau mendorong orang lain berbuat kesalahan? Namanya jadi : SANGAT BERDOSA.

Kita akan dianggap lebih jahat dari orang yang benar-benar telah berbuat tindak kejahatan, karena kita menggunakan akal pikiran kita untuk membuat orang lain melakukan hal yang kurang benar, cenderung kearah : tidak sesuai kata hati.

Saat kita telah disebut sebagai teman atau sahabat oleh orang lain, jadilah pribadi manusia yang bisa membuat orang lain tampil lebih baik, dapat berbahagia dan lebih berbahagia lagi, serta lebih pintar dan bijaksana dalam menghadapi masalah dalam dinamika kehidupan yang penuh dengan aneka perasaan.

Jangan pernah berlaku sebaliknya. Itulah rules yang harus kita tanamkan dalam benak pikiran kita dalam menjalin pertemanan dan membina persahabatan.

Manusia mungkin tidak tahu. Tapi ingatlah, TUHAN tahu apa yang ada dalam pikiran dan hati kita, termasuk didalamnya : sikap iri, niat jahat, atau pemikiran yang tidak baik lainnya. Jangan pernah mau menang sendiri.

Please... Jangan pernah jadi batu sandungan kepada orang lain, apalagi kepada teman atau sahabat kamu sendiri. Itu sangat menyakitkan. Remember that.

GBU Everybody.

.Sarlen Julfree Manurung