Dalam 5 tahun masa pemerintahannya, SBY telah meningkatkan jumlah utang pemerintah hingga 31%. Posisi utang pemerintah pada bulan Desember 2003, sebesar 1.275 trilyun. Sedangkan posisi utang pada bulan Januari 2009 sebesar 1.700 trilyun.
Besarnya jumlah utang, telah menempatkan bangsa Indonesia berada pada peringkat 4 negara penghutang terbesar di dunia. Jelas, ini bukanlah suatu kondisi yang membanggakan namun sangat mengkhawatirkan, karena dampaknya akan sampai pada generasi penerus bangsa di masa yang akan datang, yaitu menanggung utang yang telah dibuat oleh pemerintahan sekarang.
Oleh karena besarnya jumlah utang yang dimiliki pemerintah SBY, setiap Warga Negara Indonesia harus menanggung utang negara sebesar 7,7 juta rupiah. Bandingkan dengan saat Ibu Megawati memerintah, dimana setiap Warga Negara Indonesia hanya menanggung utang sebesar 5,8 juta rupiah.
Apabila dihubungkan dengan rasio utang dengan produk domestik bruto (PDB), memang mengalami penurunan, yaitu dari 57 persen menjadi 33 persen. Namun patut diingat, jumlah stok utang juga bertambah 400 trilyun. Jumlah hutang kita naik 33 persen apabila dibandingkan utang yang dimiliki pemerintah Megawati tahun 2004.
Jaman pemerintahan Ibu Megawati, rasio utang dengan PDB juga turun, dari 77 persen menjadi 57 persen. Patut diingat, hal itu dicapai dalam jangka waktu 3 tahun saja. Berbeda dengan SBY yang baru mencapainya dalam 5 tahun masa pemerintahannya.
Hal yang menakutkan, dari sedemikian besar utang, hanya 0,3 % saja yang dipergunakan oleh SBY untuk mensubsidi rakyat miskin. Artinya, upaya membantu masyarakat kecil (melalui program BLT, PNPM, BOS, dll.) memang benar-benar kecil nilainya.
Naiknya besaran utang Indonesia, itu sama artinya, beban cicilan dan pokok utang juga semakin membengkak. Kondisi ini menekan alokasi anggaran belanja pemerintah untuk kebutuhan utama pemerintah, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dampak besarnya utang tersebut, sangat mengancam kedaulatan dan ketahanan ekonomi bangsa kita, termasuk didalamnya, nilai tukar rupiah. Sewajarnya, nilai tukar rupiah kita berada pada level 8000 rupiah per 1 dollar, atau dibawahnya. Sekarang, nilai tukar rupiah adalah antara Rp. 10 ribu hingga Rp. 12 ribu (nilai Rp 12 ribu per 1 dollar terjadi pada bulan Februari 2009 kemarin).
Apabila nilai tukar rupiah bisa mencapai angka Rp. 8000 per 1 dollar, itu baru terjadi stabilitas ekonomi. Posisi nilai tukar rupiah bisa mencapai angka Rp 8000 per 1 dollar, adalah nilai tukar yang seharusnya dicapai dan membuat indikator perekonomian Indonesia bisa dibilang membaik dan telah baik.
Saat Ibu Megawati memerintah, nilai tukar rupiah kita berada pada posisi stabil dikisaran Rp. 8000 per 1 dollar. Hal ini berhasil dipertahankan hingga akhir masa jabatannya.
Pencapaian yang dilakukan pada masa pemerintahan Ibu Megawati itu, termasuk istimewa, karena sebelumnya, nilai tukar rupiah berada pada posisi antara Rp. 9000 hingga Rp. 14 ribu rupiah.
Ibu Pemimpin Bangsa yang tidak lulus kuliah itu, sangat pintar sekali. Berbeda dengan SBY, yang sudah dikasih waktu 5 tahun, tapi tidak juga bisa mencapainya dengan alasan masih dalam proses.
Semua pemaparan pemerintah yang menyebutkan kalau kondisi ekonomi Indonesia lebih baik masa pemerintahan SBY, semua dibantah oleh para pakar dan pengamat ekonomi. Para pakar dan pengamat ekonomi menyatakan kalau pemerintahan SBY tidak berniat mengerem utang.
Hal yang membuatnya terlihat parah, utang tidak hanya dipakai untuk menutup defisit anggaran, tapi juga untuk membiayai program-program BLT, BOS, PNPM. Artinya, utang dipakai bukan untuk sesuatu hal yang produktif dan menghasilkan devisa.
Lalu, besarnya utang yang ada, punya nilai konsekuensi, yaitu tertutupnya akses Indonesia untuk mendapatkan pinjaman konsesional. Akses yang terbuka hanyalah pinjaman komersial atau pinjaman proyek, yang besaran bunga pinjamannya, tinggi.
Pemimpin yang bijaksana tidak akan bertindak terlalu gegabah, dengan membiarkan negara yang dipimpinnya harus menanggung begitu banyak utang, apalagi harus menjadi bagian dari 5 negara yang memiliki utang terbesar di dunia.
Haruskah kita memilih pemimpin yang seperti itu? Tentu tidak. Kalau ada yang lebih visioner, lebih bijaksana dalam mengelola keuangan negara, lebih memanfaatkan potensi serta kemampuan keuangan dari dalam negeri, dan telah memiliki program kerja yang pasti serta jelas dalam memenuhi anggaran belanja negara, seperti halnya Ibu Megawati, kenapa tidak memilih Ibu Mega saja?
Kalau dulu Ibu Megawati bisa memperbaiki kondisi perekonomian negara kita dan mampu menciptakan kestabilan keuangan nasional, pasti, Ibu Megawati akan bisa melakukannya kalau Ibu Mega terpilih dalam pemilu tanggal 8 Juli 2009.
===
Catatan :
Data yang ada dalam tulisan saya ini, diambil dari tulisan artikel yang ada di koran Kompas dan Media Indonesia.
No comments:
Post a Comment