Beberapa minggu belakangan ini, tawuran antar warga, kembali marak di Jakarta. Awal bulan Juli 2011 ini, dalam 3 hari, terjadi tawuran antar warga di 3 lokasi yang berbeda : di Cilincing, Jakarta Utara (tanggal 1 Juli 2011), di kawasan padat penduduk Johar Baru, Jakarta Pusat (tanggal 3 Juli 2011), dan di sekitar Pasar Rumput, Jakarta Selatan (tanggal 2 – 3 Juli 2011).
Aksi tawuran antar kelompok massa juga terjadi di Badung, Bali (penyebabnya, saling ejek di status facebook), dan tawuran antar mahasiswa di dalam area kampus Universitas Pattimura, Ambon – Maluku (penyebab tawuran tidak jelas).
Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, hingga bulan Juli 2011 ini, telah terjadi 36 kali aksi tawuran antar warga di Jakarta, dimana 32 diantaranya, terjadi di Johar Baru.
Kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat tawuran massal, biasanya terjadi di kalangan pelajar, antar anggota genk atau kelompok preman, antar kelompok etnis masyarakat, dan antar masyarakat kampung (wilayah pemukiman), seperti yang terjadi dalam tawuran antar warga di Cilincing, Johar Baru, disekitar Pasar Rumput, serta antar warga di Badung - Bali.
Hampir semua pemicu tawuran massal, adalah masalah-masalah sepele. Sebagian besar peristiwa tawuran massal, berawal dari adanya perasaan tersinggung (tidak terima) sekelompok warga karena diejek oleh anggota kelompok warga lainnya : saat berpapasan di jalan, saat menonton atau sedang bertanding sepak bola, dll.
Sedangkan penyebab aksi tawuran antar warga lainnya, berhubungan dengan masalah ekonomi (masalah utang-piutang, perebutan pengelolaan lahan perparkiran, perebutan tempat untuk lokasi berjualan, perebutan kawasan mengompas, dll.) serta adanya permasalahan pribadi yang kemudian berkembang menjadi masalah komunal.
Adanya upaya untuk mencegah terjadinya aksi tawuran antar warga sendiri, bukanlah suatu perkara mudah. Inti dari persoalan yang memicu terjadinya tawuran, tidak lagi jelas. Sejumlah pihak bahkan mengatakan, akar permasalahannya sudah ada sejak lama, bagaikan rasa dendam yang tidak pernah usai. Sedikit saja ada gesekan, peristiwa tawuran antar warga bisa langsung pecah (sulit dicegah).
Meskipun masih disekitaran wilayah yang sama, namun lokasi tawuran tidak hanya di titik-titik lokasi tertentu saja, serta tidak mengenal batasan waktu dan lokasi favorit. Contohnya, aksi tawuran antar warga di daerah Johar Baru, yang bisa terjadi pada pagi hari atau malam hari.
Bahkan, keberadaan ratusan aparat kepolisian bersenjata lengkap yang berjaga-jaga di seputar lokasi tawuran di Pasar Rumput, tidak menyurutkan “niatan” warga untuk tetap tawuran, bahkan tawuran masih berlanjut keesokkan harinya.
Dalam rangka mengantisipasi dan mengurangi aksi tawuran antar warga di Johar Baru, pihak Pemda DKI Jakarta memasang sejumlah perangkat CCTV di sejumlah lokasi strategis. Pemasangan sejumlah “kamera pengintai” tersebut dimaksudkan untuk mempercepat kedatangan pihak aparat keamanan di lokasi, pada saat tawuran akan terjadi atau baru saja terjadi.
Selain itu, hasil rekaman gambar yang diperoleh dari “kamera pengintai”, akan dipergunakan untuk membantu aparat kepolisian dalam mengidentifikasi, menindak, dan mengamankan para provokator serta para pelaku aksi tawuran.
Keputusan untuk memasang “kamera pengintai” diambil karena nampaknya, Pemda DKI, para tokoh masyarakat setempat, serta aparat kepolisian, masih belum menemukan formulasi yang tepat, untuk mencegah terulangnya kembali aksi tawuran antar warga.
Padahal, aksi tawuran antar warga bisa dicegah agar tidak terulang kembali, apabila warga diberikan ruang untuk berekspresi dan berkreasi.
Apabila pihak Pemda DKI Jakarta mau memfasilitasi adanya suatu wadah kegiatan bagi warga untuk bisa menyalurkan segenap bakat, kemampuan, serta minat warga pada suatu bidang usaha maupun ketrampilan tertentu, kiranya akan mendorong warga untuk tidak lagi berkeliaran atau “nongkrong” di pinggir jalan.
Berdasarkan hasil penyelidikan aparat kepolisian, aksi tawuran di sejumlah lokasi di Jakarta, sengaja diciptakan oleh para bandar serta pengedar narkoba yang “beroperasi” atau tinggal di seputar lokasi tawuran, untuk menghindar dari kejaran polisi yang akan menangkap mereka. Saat tawuran terjadi, mereka langsung melarikan diri.
Rata-rata para pelaku aksi tawuran berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan membuat mereka tidak memiliki kemampuan keuangan memadai untuk memiliki modal membuka usaha atau melanjutkan sekolah mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
Keterlibatan sejumlah warga dalam perdagangan narkoba, ditengarai sebagai upaya masyarakat agar bisa bertahan hidup, dengan memperdagangkannya atau menjadi kurir dari para bandar.
Sebaik apapun upaya mediasi dilakukan, tidak akan membawa banyak manfaat apabila pemerintah tidak berupaya semaksimal mungkin agar warga dapat terlibat dalam berbagai kegiatan positif dan produktif, dengan memfasilitasi kebutuhan warga sehingga mereka dapat meningkatkan kapasitas serta kualitas hidup mereka.
Tawuran seharusnya tidak menjadi fenomena atau dinamika dalam kehidupan masyarakat di ibukota, apabila Pemda DKI Jakarta jeli dalam menyikapi adanya masalah sosial besar yang menjadi latar belakang penyebab terjadinya serangkaian aksi tawuran antar warga.
Masalah sosial mengemuka, karena rendahnya tingkat kesejahteraan anggota masyarakat kota, yang kerap melakukan aksi tawuran. Oleh sebab itu, Pemda DKI Jakarta harus memberdayakan warganya, dengan menghadirkan wadah-wadah kegiatan yang bisa dipergunakan warga untuk berekspresi dan berkreasi. Bagaimanapun, tawuran hanya akan menimbulkan banyak kerugian, bukan manfaat.
Apabila kehidupan warga dapat lebih diberdayakan, kecil kemungkinan bagi warga untuk tidak hidup tertib, karena kualitas lingkungan serta kehidupan mereka, sudah jauh lebih baik.
Warga miskin kota adalah bagian dari kehidupan masyarakat kota. Keberadaan mereka tidak akan menimbulkan polemik berkepanjangan, apabila pemerintah dapat menghadirkan ruang berkegiatan bagi mereka, sehingga mereka dapat melepaskan diri dari tekanan hidup, terutama lagi, menutup peluang adanya pola pemikiran serta perilaku yang destruktif, anarkis, dan tidak bersahabat dengan lingkungan disekitarnya.
Upaya pencegahan harus diikuti dengan adanya keinginan pemerintah untuk membangun warganya agar dapat hidup lebih bermartabat, tidak lagi liar dan mudah tersinggung. Jika arah kehidupan dirasakan lebih jelas serta terarah, niscaya, keinginan untuk tawuran akan hilang dengan sendirinya.
.Sarlen Julfree Manurung
No comments:
Post a Comment