Tidak ada keinginan untuk bertanya... enggan untuk melakukan sesuatu... merupakan sikap yang bisa ditemui pada pasangan yang sedang mengalami hubungan yang retak.
Kedua pihak sama-sama memilih untuk menahan diri, bersikukuh untuk tidak mendahului membuka pintu ruang komunikasi, karena gengsi menjadi pihak yang pertama kali menyapa. Mereka justru menunggu adanya niat atau inisiatif dari pasangannya, untuk menyampaikan keinginan berdialog.
Masalah membuat hubungan mereka menjadi renggang dan tidak lagi mesra. Penyebabnya, karena kurangnya hasrat serta kemauan diri (proses pembiaran masalah) untuk mencari titik temu dalam menyelesaikan masalah. Ketika hal itu terjadi, dimanakah cinta berada?
Suasana perang dingin tercipta. Keadaan ini perlahan-lahan memicu dimensi permasalahan, semakin berkembang, melebar ke hal-hal lain yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah yang ada.
Hal ini terjadi, karena masing-masing pihak lebih terpaku pada adanya benih-benh pemikiran negatif dalam benak pikiran mereka, atau karena mereka lebih cepat menerima, mencerna, menelan begitu saja, adanya asumsi, saran, dan masukan berkonotasi negatif (tidak independen), dari orang-orang di sekitar mereka.
Keadaan ini menimbulkan kesan, seakan-akan mereka sedang menghadapi suatu permasalahan yang kompleks atau multidimensional. Bahkan ada pula kesan, salah satu pihak (khususnya pihak yang sedang “bermasalah”) sengaja untuk menggantung masalah.
Saat segala sesuatunya dirasakan semakin runyam saja, akhirnya mereka membuat suatu keputusan (secara bersama-sama atau secara sepihak), untuk mengakhiri jalinan cinta kasih yang telah mereka bangun selama beberapa waktu lamanya.
Apakah memang, putus hubungan merupakan sebuah keputusan terbaik? Banyak yang berpendapat kalau memutuskan untuk mengakhiri hubungan, merupakan keputusan terakhir yang akan mereka ambil. Lalu, kalau ada pada urutan terakhir, kenapa bisa menjadi pilihan pertama? Jawabannya, tidak lain karena adanya hambatan dalam komunikasi.
Mengkoreksi Lewat Komunikasi
Langkah-langkah korektif seharusnya dilakukan, untuk mencegah adanya abstraksi pemikiran atau kesalahan-kesalahan dalam menyikapi peningkatan tendensi terhadap suatu keadaan, yang tercipta karena terlalu bersemangat / menggebu-gebu dalam mengimbuhi adanya taklimat pernyataan atau keadaan predictable atau unpredictable yang kelak menjadi simpul permasalahan.
Akan tetapi, langkah-langkah korektif terganjal oleh adanya pemikiran negatif, yang lebih menaungi benak pikiran, sehingga sulit untuk membuat kesepakatan win-win solution secara bersama-sama. Selain itu, sikap emosional dan antipati cenderung lebih mengemuka, sehingga sulit untuk menerima (apalagi mencerna) segenap pandangan, argumentasi, atau alasan yang dinyatakan pasangannya.
Ekspresi kemarahan tidak akan menghadirkan thematik jawaban terhadap beratus-ratus tanda tanya yang bertaburan di kepala. Apalagi kalau inspirasi yang ingin dipertanyakan, hanyalah fatamorgana dari semburat perasaan, yang ringan mengaduh karena penuh prasangka, padahal tanpa landasan.
Tindakan korektif juga terjadi ketika dialog menyertakan pula perasaan hati mencintai yang selama ini ada. Cinta membuat segala sesuatunya berasal dari hati. Saat hati ikut bicara, segala keputusan yang dibuat bersama, didasari oleh adanya kesadaran serta ketulusan hati.
Dalam hal ini, dialog ditempatkan sebagai sebuah upaya, mengembalikan lagi suasana hati agar bisa kembali penuh dengan rasa cinta. Oleh sebab itu, lakukan dengan tulus, bukan karena terpaksa.
Sikap Saat Berdialog
Penyelesaian masalah bisa dimulai dengan belajar menerima adanya keluhan dari pasangan. Dalam hal ini, setiap pihak belajar untuk menjadi seorang pendengar yang baik, sehingga bisa merenungkan atau mengkoreksi kembali, apabila ada kesalahan atau tindakan yang kurang tepat untuk dilakukan pada saat masalah mengemuka.
Dialog dapat berlaku efektif apabila masing-masing pihak dapat memberikan kesempatan pada yang lain, untuk mengutarakan isi hati dan argumentasinya. Selain itu, dialog merupakan momentum bagi seseorang untuk mengemukakan pintu prasangka dan alibinya, dengan menyampaikan pertanyaan.
Ruang lingkup permasalahan, tidak pernah lepas dari adanya kecurigaan atau prasangka buruk. Jadi, diharapkan ada jawaban yang bisa meluruhkan segenap keraguan dan pemikiran-pemikiran negatif, karena disampaikan secara jujur, terbuka, serta apa adanya.
Berkata jujur merupakan konsekuensi dari adanya untuk membangun dialog yang sehat. Sedangkan sikap menutup-nutupi atau tidak mengakui adanya nilai-nilai kebenaran dari pernyataan yang dibuat pasangan, cenderung hanya akan meluruhkan kepercayaan pasangan, utamanya, di masa-masa yang akan datang.
Sulit rasanya membangun kembali kepercayaan dari pasangan, apabila kejujuran tidak ditempatkan sebagai “panglima” dalam menyampaikan kebenaran. Dalam sejumlah peristiwa, adanya pembelaan yang memang didasari oleh fakta atau keadaan yang ada, pasangan akan lebih menterjemahkannya sebagai “dalil” atau “dalih” semata.
Pernah sekali saja berkata tidak jujur (apalagi melakukannya berulang kali), hanya akan membuat pasangan tidak membuka lebar-lebar pintu hatinya, untuk menerima pernyataan dari pasangannya, karena, seseorang yang emosinya sedang goyah, sulit untuk mengetahui adanya kebenaran jawaban dari pasangannya, meskipun untuk mengetahui adanya kebenaran jawaban tersebut, tidaklah sulit.
Gambaran atas nilai-nilai kebenaran itu bisa dilihat dari : Kelancaran pasangan dalam menyampaikan jawaban (tekanan serta warna suara cenderung datar, tidak banyak berubah), adanya konsistensi dalam berucap, dan mampu menerangkan bagaimana urut-urutan alur peristiwa dengan tepat.
Kebenaran suatu jawaban juga dapat terlihat dari bahasa tubuh serta adanya kelekatan mata dalam memandang, meskipun sedang dalam posisi terintimidasi.
Seseorang yang tidak berkata jujur, akan menampilkan bahasa tubuh tidak tenang (terlihat gelisah), serta mata yang tidak berani beradu pandang.
Permasalahan juga bisa muncul karena salah satu pihak sengaja mengeliminasi adanya kesetaraan diantaranya keduanya. Terkadang, kondisi ini tetap ada dan terus berlanjut ketika dialog dilakukan.
Dalam bukunya yang berjudul “7 Ciri Pria Tidak Dewasa”, Ir. Eddy Leo, MTh. Menyebut adanya sikap mau menang sendiri (karena mengerupsi adanya nilai-nilai kesetaraan dalam hubungan), merupakan nafsu seseorang untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Ego itu laksana menimbang dengan menggunakan timbangan dan takarannya sendiri. Jadi tidak aneh kalau seseorang yang sedang menunjukkan keegoisan sikapnya, tidak ragu mengorbankan orang lain demi mendapatkan impulsi yang lebih besar.
Ketika dialog dilakukan, ego ditempatkan sebagai sebuah upaya menguasai suasana, dimana hanya memberikan sedikit saja kesempatan pada pasangannya untuk berbicara, dengan cara memanipulasi keadaan, dan mengisinya dengan pembenaran-pembenaran atas pilihan sikapnya selama ini.
Padahal, jika lebih mengedepankan sikap egois, hanya akan meminimkan keluarnya pengakuan atas kebenaran alibi, argumentasi, dan pernyataan yang dikemukakan pasangannya, atau yang terungkap sepanjang dialog.
Orang yang egois sulit untuk menjadi seorang pendengar yang baik. Fakta membuktikan, sikap egois berada pada nomor urutan atas, sebagai penyebab kurang harmonisnya hubungan yang dibangun seseorang dengan kekasih hatinya. Dalam hal ini, berlaku egois bukanlah tanda hati yang mencintai.
“Sebab dimana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.” - Yakobus 3 : 16
Dialog yang sehat dapat terbangun apabila setiap pihak tidak mengangkat sikap egoisnya pada saat mencoba memperbaiki hubungan yang retak. Lupakan saja adanya hasrat untuk bersikap egois pada pasangan apabila ingin hubungan dengan kekasih hati, kembali harmonis.
Bibit permasalahan terkadang berawal dari adanya sikap emoh untuk mengakui kesalahan (meminta maaf). Enggan meminta maaf karena telah melakukan perbuatan salah, merupakan bagian dari sikap egois manusia.
Mengakui perbuatan salah, bukanlah sesuatu hal yang hina, melainkan sikap seorang ksatria. Harga diri tidak akan tercabik karena harus menyatakan permintaan maaf atas perbuatan salah yang telah dilakukan. Itu wajib hukumnya, karena kata “maaf” merupakan ungkapan hati yang memerdekakan, mendamaikan, dan menentramkan suasana (hati atau keadaan) yang sedang runyam.
Selain itu, menyampaikan permohonan “maaf”, bukanlah pilihan sikap yang akan merendahkan diri sendiri, akan tetapi merupakan suatu representasi dari adanya kesadaran diri, kalau tetap bersikeras untuk mengilhami diri dengan aneka perbuatan salah, merupakan tindakan membohongi diri sendiri.
Bagaimana pun, awal kisah dari adanya kebersamaan dengan kekasih hati, tidak terjadi begitu saja, atau tanpa proses perkenalan atau pendekatan terlebih dahulu. Jadi, jangan ragu atau emoh untuk meminta maaf jika berbuat salah.
Komunikasi Sebagai Alat Mempersatukan Kembali
Peranan komunikasi dalam menciptakan harmonisasi hubungan diantara 2 anak manusia yang saling mengasihi, amatlah besar.
Dalam sejumlah peristiwa, hubungan yang retak terjadi karena komunikasi tidak lagi ditempatkan sebagai media untuk membina dan menjaga kelanggengan hubungan.
Selain itu, keretakkan hubungan terjadi karena salah satu pihak menterjemahkan adanya situasi atau keadaan yang terasa berbeda atau dianggap tidak lagi sesuai dengan keinginan (contohnya : tiba-tiba jarang memberikan kabar – kirim SMS, menelpon, BBM-an), hingga akhirnya, muncul keraguan, kecurigaan, dan serangkaian inspirasi pemikiran negatif.
Terlepas dari adanya faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi (dengan alasan yang masuk di akal dan dapat dipertanggungjawabkan, tentunya), membangun suatu pola komunikasi yang sehat, selayaknya ditempatkan sebagai komitmen bersama, sehingga tidak muncul adanya suatu pemikiran atau upaya untuk saling menyakiti, dengan dalil, maksud, serta alasan apapun.
Ingatlah selalu, ketika hubungan dengan kekasih hati baru terbentuk, semuanya itu diawali dengan menghadirkan keinginan serta niatan baik, yang dibungkus dengan buah-buah ketulusan hati, dalam suatu kerangka bingkai komunikasi. Tidak ada orang yang terinspirasi membangun hubungan, untuk menyakiti pasangannya.
Jika hubungan itu diawali dengan hati yang mencintai pasangan, kenapa harus dijalani atau diakhiri dengan saling menyakiti?.
Kesalahan mungkin membuat hubungan dengan kekasih, menjadi retak. Namun itu bukanlah berarti, kesalahan tidak bisa dikoreksi atau kelak akan terulang kembali. Saat ada masalah yang mengganjal keharmonisan hubungan, segeralah temukan solusi penyelesaikan masalah, dengan melakukan dialog yang sehat bersama pasangan.
Dalam hal ini, setiap orang bisa saja menutup matanya untuk tidak melihat (pura-pura tidak memperhatikan keberadaan pasangan), akan tetapi, setiap orang tidak dapat menutup hatinya untuk tidak merasakan (kehadiran / keberadaan cinta kepada pasangan). Lihatlah kedalaman hatinya, bukan apa yang telah ditampilkan. Belajarlah dari kesalahan, dengan menghadirkan komunikasi, dari hati ke hati.
.Sarlen J. Manurung
No comments:
Post a Comment