Anda tentu masih ingat dengan humor Gus Dur yang satu ini. Guyonan ini sempat menghebohkan nusantara karena dimuat oleh salah satu media nasional di Jawa Timur. Gus Dur mengatakan, semua presiden Republik Indonesia (RI) itu KKN, mulai dari Soekarno , Soeharto , Habibie, Gus Dur (dirinya sendiri), sampai Megawati .
Humor ini ditulis ulang oleh Muhammad Zikra dalam buku, tertawa bersama Gus Dur: humornya kiai Indonesia. Kisahnya berawal saat Gus Dur mengisi khutbah dalam acara pernikahan putra seorang kiai di lingkungan Pondok Pesantren Pajarakan, Probolinggo, Jawa Timur, pada Agustus 2002.
Gus Dur waktu itu berpidato di atas kwade (pentas pengantin Jawa) dan disaksikan oleh ratusan tamu undangan. Belum satu menit naik ke atas kwade, Gus Dur langsung membuat guyonan politik. Katanya, semua presiden RI itu KKN (tentu yang dimaksud KKN adalah istilah untuk korupsi, kolusi dan nepotisme).
"Kok bisa?"
jawab Gus Dur;
"Ya, presiden pertama ( Soekarno ) itu saya katakan Kanan Kiri Nona (KKN). Presiden kedua ( Soeharto ) juga KKN, tapi yang ini Kanan Kiri Nabrak. Yang ketiga (Habibie) malah lebih parah lagi, Kecil-Kecil Nekat. Yang keempat anda sudah tahu semua, Kanan Kiri Nuntun. Yang terakhir, yang satu ini (sambil tertegun beberapa saat) Kayak Kuda Nil."
Lalu disambut tawa seluruh hadirin yang hadir. Tertawa pun semakin berkepanjangan saat Gus Dur merinci, kuda nil itu memiliki ciri-ciri tertentu yakni bertubuh besar, senang berendam, kurang gerak dan jarang ngomong. "Saya kira, presiden yang sekarang ini ( Megawati ) ternyata KKN juga. Tetapi KKN-nya: Kayak Kuda Nil," katanya disambut tertawa dan tepuk tangan.
Humor lain adalah tentang terorisme di Indonesia. Guyonan Gus Dur ini membuat orang terpingkal-pingkal. Saat membuka acara konsolidasi nasional PKB di Hotel Saripan Pasific, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (29/1/2006), Gus Dur memberikan sambutan, ia memberikan berbagai komentar yang saat ini terjadi di tanah air. Salah satunya ketika membahas soal teroris-teroris di Indonesia.
Menurut Gus Dur , aksi teroris saat ini sudah tidak ada lagi. Kenapa demikian? Karena semua teroris sudah jadi menteri, kata Gus Dur disambut tawa hadirin. Siapa teroris yang jadi menteri itu, mereka adalah yang dulu pekerjaannya menakuti rakyat Indonesia.
Diakui bahwa Gus Dur adalah pemimpin negara yang pertama kali memperjuangkan kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia dalam posisi yang semestinya sebagaimana warga negara yang lain dalam posisi yang setara tanpa terkecuali.
Perjuangan Gus Dur tersebut bukan tanpa alasan. Etnis Tionghoamemiliki peranan penting bagi Indonesia saat ini. Sejarah bangsa ini mencatat bagaimana warga Tionghoa ikut bahu-membahu dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan kolonial Belanda dengan menjadi pemasok persenjataan.
Jauh sebelumnya, peran itu tertanam kuat pada masa-masa kerajaan nusantara. Ketika kerajaan Sriwijaya di masa kehancuran dan pemerintahan sedang kacau, etnis Tionghoa yang memiliki keterikatan langsung dengan Tiongkok mengambil inisiatif untuk membangun pemerintahan sendiri agar kekacauan di Palembang tidak berlarut-larut. Palembang baru memaklumatkan diri berada di bawah kekuasaan Majapahit di Jawa setelah Laksamana Cheng Ho datang ke Palembang dan mendirikan masyarakat Islam Tionghoa dan dipimpin oleh Arya Damar.
Jauh sebelumnya, peran itu tertanam kuat pada masa-masa kerajaan nusantara. Ketika kerajaan Sriwijaya di masa kehancuran dan pemerintahan sedang kacau, etnis Tionghoa yang memiliki keterikatan langsung dengan Tiongkok mengambil inisiatif untuk membangun pemerintahan sendiri agar kekacauan di Palembang tidak berlarut-larut. Palembang baru memaklumatkan diri berada di bawah kekuasaan Majapahit di Jawa setelah Laksamana Cheng Ho datang ke Palembang dan mendirikan masyarakat Islam Tionghoa dan dipimpin oleh Arya Damar.
Kehidupan kelompok Tionghoa di Nusantara, pada dasarnya telah membaur dengan masyarakat pribumi. Kelompok pendatang Tionghoa yang umumnya pedagang, banyak yang menikah dengan perempuan pribumi. Begitu besarnya pengaruh pembauran ini hingga mampu mempengaruhi sejarah perkembangan kehidupan kerajaan dengan para rajanya dan perkembangan agama Islam dengan para ulamanya. (hal. 44)
Rekonsiliasi Nasional
Rekonsiliasi Nasional
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Gus Dur berjuang membela etnis Tionghoa pada masa-masa sulit tahun 1998. Dan langkah yang diambil Gus Dur dianggap sulit diterima, bahkan bertentangan dengan pendapat umum yang menimpakan kesalahan pada orang-orang Tionghoa sebagai penyebab krisis ekonomi pada waktu itu. Beberapa saat setelah tragedi Mei 1998, Gus Dur (yang waktu itu masih menjabat Ketua Umum PBNU) menyerukan kepada keturunan China yang berada di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia dan menjamin keselamatan mereka. Dan kepada warga pribumi, Gus Dur menghimbau agar mau menerima dan membaur dengan warga keturunan Tionghoa tersebut. Perjuangan Gus Dur membela minoritas Tionghoa semakin tegas ketika Ia menjadi Presiden Republik Indonesia keempat yang diwujudkannya memalui berbagai kebijakan, Inpres No. 14 tahun1967 yang kemudian dilanjutkan oleh Megawati dengan penetapan Imlek sebagai hari libur Nasional melalui Kepres No. 19 tahun 2002.
Di saat bersamaan, Gus Dur juga mengajak bangsa Indonesia mewujudkan rekonsiliasi dengan China. Bukan semata-mata karena ia sendiri keturunan China, tapi Gus Dur melihat pada masa-masa mendatang China sebagai suatu jaringan (guanxi) perlu dirangkul untuk membangun kembali perekonomian Indonesia yang baru saja dilanda krisis hebat. Dan untuk memulihkan ekonomi nasional, langkah pertama yang ia lakukan adalah memanggil kembali para pemilik modal agar mau berinvestasi di Indonesia. Gus Dur yakin, suatu pemerintahan yang tidak menerapkan politik rasialis, akan membuat para "guanxi" merasa aman menanam modal di Indonesia.
Kelompok etnis Tionghoa dalam wawasan kebangsaan Gus Dur adalah sama dengan suku-etnis bangsa lain, seperti etnis-suku Jawa, Batak, Papua, Arab, India, Jepang dan Eropa yang sudah lama hidup dan menjadi penduduk atau warga negara Indonesia. Mereka juga memilik hak yang sama sebagai warga negara yang sah sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. (hal. 83-84)
Dan kini, ketika area perdagangan bebas Asean-RRC dibuka, hubungan dengan China tidak bisa dinafikan lagi. Gus Dur sudah sejak awal menyiapkan masuknya pengaruh China, bukan saja dari sisi budaya, tapi juga ekonomi dan bisnis. Namun sayangnya, bangunan pandangan kebangsaan dan perjuangan Gus Dur tersebut baru bisa dirasakan relevansinya bagi kemajuan perekonomian Indonesia sekarang, setelah berpuluh tahun dan setelah beliau wafat.
Bapak Kaum Minoritas
Gus Dur tetap Gus Dur, sulit dibaca dan ditebak. Ia kokoh dalam pendirian dan terus ngotot pada keyakinan yang dianggapnya benar walau “nyeleneh” bagi orang kebanyakan. Kegigihannya membela kaum minoritas di Indonesia membuatnya ditahbiskan sebagai Bapak bagi kaum minoritas, sebagai payung semua golongan yang tertindas dan terpinggirkan.
Namun yang jelas, sikap Gus Dur tersebut tetap memiliki landasan yang kuat dalam pandangan kebangsaan dan keislaman, tidak lepas dari pengaruh ayah dan kakeknya sebagai founding fathers negara ini. Pandangan kebangsaan Gus Dur adalah berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebangsan yang telah dibakukan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dan padangan keislamannya berpegang pada prinsip tauhid dan sendi dasar agama, menerjunkan diri sepenuhnya pada perdamaian dan menebar pertolongan sebagai pengabdian pada kemanusiaan dalam ikatan tali Ketuhanan, karena yang berhak disebut Muslim sejati adalah mereka yang; menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, meneolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan prefesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan. (hal. 92).
Dan terbitnya buku Bapak Tionghoa Indonesia (Gus Dur) yang diterbitkan oleh LKiS ini semakin menambah panjang daftar deretan buku yang mengkaji dan mengapresiasi pemikiran dan sosok kenegarawanan Gus Dur. Kebesaran Gus Dur selain karena pemikiran dan perjuangannya yang terkenal humanis dan mengayomi, juga pengakuan yang tulus dari masyarakat lintas agama, budaya, etnis dan dunia kepada Gus Dur, tak terkecuali dari kalangan etnis Tionghoa.
Dan terbitnya buku Bapak Tionghoa Indonesia (Gus Dur) yang diterbitkan oleh LKiS ini semakin menambah panjang daftar deretan buku yang mengkaji dan mengapresiasi pemikiran dan sosok kenegarawanan Gus Dur. Kebesaran Gus Dur selain karena pemikiran dan perjuangannya yang terkenal humanis dan mengayomi, juga pengakuan yang tulus dari masyarakat lintas agama, budaya, etnis dan dunia kepada Gus Dur, tak terkecuali dari kalangan etnis Tionghoa.
Buku ini merupakan penegasan bahwa Gus Dur adalah ibarat mata air yang tak habis-habisnya sebagai sumber inspirasi dan perjuangan bagi generasi selanjutnya.
Gus Dur adalah pemimpin religi sekaligus politik yang akhirnya menjadi presiden ke 4 Republik Indonesia. Artikel Jawa Pos (2009) yang berjudul "Saya Keturunan Tan Kim Han" menyebutkan bahwa Gus Dur di beberapa kesempatan kerap mengungkapkan bahwa dirinya masih memiliki darah Tionghoa dan pembelaannya terhadap warga kelompok minoritas bukan semata-mata faktor keturunan"
Dalam kunjungan ke Beijing University , 3 Desember 1999, dalam kapasitas sebagai Presiden Republik Indonesia. Dia mendapat applaus yang meriah saat mengatakan kepada para mahasiswa Beijing University bahwa anaknya belajar bahasa Mandarin di sebuah universitas di Indonesia.
Sebelum meninggalkan Beijing , Gus Dur menekankan perlunya memperkuat hubungan antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok untuk menciptakan keseimbangan dengan Barat. Disisi lain Beijing merespond dengan mengirimkan tim dokter untuk ke Jakarta guna merawat mata Gus Dur dengan sistem pengobatan tradisional Tiongkok.
Sebelum meninggalkan Beijing , Gus Dur menekankan perlunya memperkuat hubungan antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok untuk menciptakan keseimbangan dengan Barat. Disisi lain Beijing merespond dengan mengirimkan tim dokter untuk ke Jakarta guna merawat mata Gus Dur dengan sistem pengobatan tradisional Tiongkok.
Leluhur Gus Dur bernama Tan Kim Han [Chen Ji Han] , asal Jinjiang didekat Quanzhou, Fujian di masa Dinasti Ming. Gus Dur memberikan otoritas kepada peneliti Tiongkok untuk melakukan riset tentang leluhurnya. Di Bulan September 2003. Silsilah singkat tentang Tan Kim Han muncul ketika terkumpul dua catatan silsilah , dari marga Tan cabang Meixi dan cabang Chizai yang dikompilasi di tahun 1576 dan 1907.
Tan Kim Han alias Tan Kwee Liang [Chen Ji Liang] hidup di sebuah desa yang disebut Shichun di Jinjiang Country, dekat Quanzhou , provinsi Fujian . Ayahnya adalah Tan Teck [Chen De] , memiliki dua anak. Kakak tertuanya , Mengliang adalah seorang pejabat di Nanjing. Tan Kim Han lahir di tahun 1383 pada masa pemerintahan Hongwu. Dia menikah tanpa anak dan mengajar di satu sekolah di Leizhou setelah lulus dalam ujian di tahun 1405.
Tan Kim Han ikut bersama Cheng Ho [Zheng He] dan berkunjung ke Lambri-Aceh yang setelah itu tidak ada catatan mengenai dirinya [Chizai Fang Jiapu , 1907]. Dalam catatan keluarga , Tan Kim Han juga merupakan umat dari kepercayaan asing , kemungkinan Islam.
Ma Huan menggambarkan Lambri di tahun 1413 telah menjadi kerajaan Islam. Memiliki populasi sekitar 1000 keluarga. Ma Huan mencatat bahwa semuanya Muslim dan mereka orang yang jujur. Raja di daerah itu juga beragama Muslim [Ma Huan 1997, pp 122-123]. Tan Kim Han mungkin tertarik terhadap komunitas Muslim yang hidup di Lambri dan memutuskan untuk tinggal disana. Dia menikah dengan wanita setempat dan membangun keluarga di Lambri.
Keluarga yang dibentuk Tan Kim Han mulai berkembang dan menjadi keluarga yang berpengaruh dikomunitas Muslim di Jawa Timur. Tan Kim Han diberi panggilan Syekh Abdul Qodir Al-Shini. Berdasar penelitian seorang peneliti Prancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasi sebagai seorang tokoh yang makamnya ditemukan di Trowulan, Jawa Timur.Hasyim Asyari adalah kakek Gus Dur, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama [NU] . Sementara Bisri Syansuri adalah Muslim pertama yang memperkenalkan kelas untuk wanita. Ayah Gus Dur , Wahid Hasyim , terlibat dalam perjuangan nasional.
No comments:
Post a Comment