Pengakuan tersebut masih pula diikuti dengan pernyataan, kalau mereka juga meyakini, Tuhan akan memaafkan kesalahan manusia yang datang memohon pengampunan dosa padaNya, meskipun manusia telah kotor oleh lumpur dosa.
Namun entah mengapa, sejumlah besar anak-anak Tuhan justru terlihat tidak antusias apabila mereka harus bertindak sebagai pribadi yang dapat dengan tulus ikhlas memaafkan kesalahan orang lain yang telah menghadirkan luka dan derita batin, melalui perkataan atau perbuatan yang mendukakan hati.
Hati mereka seakan tidak tergerak untuk mengucapkan kata maaf, baik kepada orang yang langsung meminta maaf atau yang tidak secara langsung meminta maaf, bahkan sulit memaafkan kesalahan orang lain meskipun orang lain tersebut tidak memintanya.
Faktanya, walaupun anak-anak Tuhan sering membaca Firman Tuhan, buku-buku telaah Firman Tuhan atau buku renungan harian yang menuliskan agar manusia dapat memaafkan kesalahan orang lain dengan tulus, serta mengaminkan isi khotbah pendeta dengan perikope yang sama, atau bahkan telah menjawab dengan lantang pertanyaan kesediaan mengampuni kesalahan orang lain dalam Perjamuan Kudus, namun tetap saja, banyak anak-anak Tuhan yang sulit memaafkan kesalahan orang lain dengan tulus.
Bahkan bagi sejumlah anak-anak Tuhan, memaafkan kesalahan orang lain yang telah menghadirkan luka dan derita batin, menganggap hal itu sebagai "bukan harus" dilakukan sebelum rasa sakit yang tercipta, terobati. Terasa berat rasanya kata-kata maaf terucap dengan lancar dari mulut.
Tuhan saja mau memaafkan kesalahan kita, kenapa kita sulit memaafkan kesalahan yang diperbuat orang lain kepada kita?
Dengan sulit mengungkapkan kesediaan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain, apakah kita ingin menghadirkan otoritas yang sama dengan Tuhan, yaitu menjadi pribadi yang berhak mengampuni serta menghakimi sesama manusia?
Oleh karena tidak senang dan merasa telah disakiti, sejumlah anak-anak Tuhan bahkan memilih untuk tidak bersedia mengucapkan kata maaf kepada orang yang telah menciptakan luka serta derita batin.
Kenapa sulit memaafkan?
Pertama
Seseorang yang mengalami derita batin karena telah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan atau tidak adil dari orang lain, akan membangun dinding sikap bermusuhan.
Adapun bentuk dinding sikap bermusuhan tersebut diwujudkan dengan : menjaga jarak, memutuskan rantai pertemanan, dan menutup/mengurangi akses komunikasi dengan orang yang telah menghadirkan luka batin, dengan alasan, untuk mempertahankan posisi, integritas dan eksistensi di depan orang lain, kestabilan emosi atau nama baik.
Kedua
Memaafkan cenderung dikonotasikan sebagai sebuah tindakan berani untuk melupakan atau mengingkari adanya perbuatan salah yang telah dilakukan orang lain.
Bagi sejumlah orang, melupakan begitu saja suatu perbuatan atau pernyataan yang membuat diri ini merasakan hati yang terluka, bukanlah sebuah keharusan moral, bukanlah sebuah tindakan fair, dan tidak otomatis menyembuhkan derita yang telah dihadirkan orang lain tersebut.
Ketiga
Karena amarah telah menciptakan dendam dan upaya-upaya protektif diri (seperti yang disebutkan pada point pertama diatas), dimana keadaan itu lebih mendominasi akal serta alam pikiran.
Dalam hal ini, meskipun seseorang mengerti, memahami serta merasakan indahnya makna kasih, akan tetapi, oleh karena adanya rasa sakit lebih melingkupi hati dan perasaan, seseorang tersebut tidak memperdulikan adanya kasih, sehingga yang putih dapat menjadi hitam, dan yang hitam, dianggap lebih layak menjadi putih.
Secara tidak langsung, seseorang tersebut telah menambahkan atau mengganti literatur makna kasih yang sesungguhnya.
Apabila dikaitkan dengan prinsip keimanan, maka, tindakan memaafkan merupakan upaya "memaksa" agar dilakukan. Adanya prinsip "memaksa" dalam memaafkan kesalahan orang lain tersebut, terdeskripsikan karena memaafkan kesalahan orang lain merupakan "perintah" Tuhan.
Ketika kata "maaf" sulit untuk diucapkan, itu terjadi karena seseorang yang mengalami luka dan derita batin oleh perbuatan atau pernyataan tidak menyenangkan dari orang lain, menganggapnya sebagai sebuah beban.
Beban tercipta karena seseorang yang berada pada posisi telah disakiti orang lain tersebut, harus mengingkari adanya kesalahan yang telah membuat dirinya mendapatkan luka dan derita batin, dengan menghadirkan suatu anggapan bahwa luka serta derita batin yang telah membuat dirinya tersakiti, tidak perlu diingat-ingat lagi.
Artinya, dengan memaafkan kesalahan orang lain, kita telah berusaha sekuat tenaga untuk mendamaikan hati dan diri kita, agar segenap amarah, rasa kecewa, serta perasaan diperlakukan tidak adil, tidak lagi mendominasi pikiran, meskipun tidak ada keharusan bagi kita, untuk melupakan begitu saja kesalahan yang telah diperbuat orang lain tersebut.
Jelas, ini bukanlah perkara yang mudah namun harus dilakukan apabila kita benar-benar berpegang pada perintah Tuhan.
Kesulitan terbesar untuk memaafkan kesalahan orang lain, memang ada pada upaya untuk mereduksi segenap perasaan tertekan dan adanya kebencian yang berkecamuk di dada oleh karena amarah, rasa kecewa, dan perasaan telah diperlakukan tidak adil, menjadi sebuah keinginan baik (memaafkan) dan tidak lagi memfokuskan kesalahan atau perbuatan tidak menyenangkan yang telah dilakukan orang lain, sebagai sebuah tindakan sulit yang harus dilakukan.
Bagaimana agar tidak terasa sulit untuk memaafkan orang lain?
Well, konsepsi pertama yang harus kita ingat adalah : tindakan memaafkan orang lain merupakan bagian dari menyatakan kasih, yaitu kepada orang yang telah kita anggap musuh atau orang yang telah kita anggap bersikap bermusuhan dengan kita.
Artinya, kita telah menjalankan perintah Tuhan, untuk menyatakan kasih kepada semua orang, yaitu menyatakan kasih kepada orang yang telah membuat hati kita terluka, dengan memaafkannya.
Kita mengerti, tahu, dan memahami, bahwa Tuhan telah memerintahkan kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain. Tuhan sendiri telah pula memberikan contoh nyata, dimana kita bisa mencontohnya. Dalam hal ini berlaku keadaan : kita memaafkan kesalahan orang lain agar Tuhan juga memaafkan kesalahan-kesalahan kita.
Berpikir positif merupakan salah satu elemen penting yang membuat kita bisa memaafkan kesalahan orang lain, meskipun kita tahu, orang lain tersebut telah membuat kita mengalami luka dan derita batin.
Kenapa kita harus berpikir positif?
Sebab dengan berpikir positif, kita dapat melanjutkan hidup kita tanpa kita sendiri harus memikul beban, dan memiliki dendam yang melingkupi hati serta pikiran kita.
Beban dan dendam, yang terangkum dalam aroma kebencian kita pada seseorang, pada dasarnya dapat merusak persepsi kita, tentang bagaimana kita harus bersikap kepada orang lain, dan bagaimana cara kita menyikapi makna kehidupan beserta keindahan yang bisa kita nikmati tanpa harus menyertakan adanya amarah didalam diri kita.
Memang tidaklah mudah untuk mematahkan segenap derita, rasa sakit serta kebencian yang membara di dada, dengan tindakan tidak menghakimi orang lain karena perbuatan tidak menyenangkan yang telah dilakukannya (yang sesungguhnya tidak perlu terjadi).
Dalam hal ini, sikap toleransi kita kembangkan kepada orang yang menyebabkan kita menghadapi kondisi tidak pasti yang hadir setelah rasa sakit hadir ke permukaan.
Ada baiknya pula apabila kita memposisikan diri kita sebagai orang yang membutuhkan orang lain memaafkan kesalahan kita, namun kita harus menerima kenyataan, bahwa kata maaf itu tidaklah mudah kita dapatkan. Apakah kondisi ini dapat kita terima? Tentu saja tidak.
Memaafkan memang sama artinya kita harus bisa melupakan dan tidak lagi mengingat-ingat kesalahan atau perbuatan tidak menyenangkan yang telah dilakukan orang lain pada kita.
Mungkin kita membutuhkan waktu untuk melakukannya. Namun tidak ada salahnya, kalau kita memikirkannya untuk tidak menunda-nunda melakukannya.
Awalnya memang tidak mudah, karena sisi kemanusiaan kita yang dilingkupi oleh rasa benci dan amarah, akan cepat menolak untuk memaafkan.
Namun, apabila kita segera menyadari, bahwa memaafkan kesalahan orang lain itu perlu dan harus, itu sama artinya, kita telah mengurangi 2 masalah : menghapus rasa benci dalam diri kita, serta memperbaiki hubungan yang retak dengan orang lain.
Why we must do that?
Sia-sia saja kita percaya pada Tuhan kalau kita masih menyimpan dendam didalam hati kita dan membiarkan diri kita memendam amarah yang terpicu oleh kebencian atau rasa tidak senang karena orang lain telah membuat hati kita terluka, karena Tuhan tidak menentukan kita hidup dengan cara demikian.
Pesan indah yang ingin disampaikan dalam artikel ini : memaafkan kesalahan orang lain itu memang sulit, tapi kita harus melakukannya, karena itulah yang Tuhan kehendaki untuk kita lakukan.
Maafkanlah kesalahan orang tulus...
Semoga tulisan ini menggugah rekan-rekan untuk membuka pintu maaf kepada orang yang telah berbuat salah, baik diminta atau tanpa diminta, dengan tulus tentunya.
God Bless You Everybody
.Sarlen Julfree Manurung
dimuat di : http://sarlenjm.blogspot.com
No comments:
Post a Comment